Ryan dan calon istrinya baru saja menyelesaikan berkas-berkas untuk pernikahan yang tidak dia inginkan. Bolehkah dia bilang, pernikahan yang tidak diinginkan? Tapi jujur lebih baik daripada berbohong, bukan?Acara pernikahan Ryan yang terkesan cepat dan tiba-tiba, membuat beberapa atasannya dan rekan-rekan kerjanya bingung, ditambah bukan perempuan yang pernah dia kenalkan dengan bangga kepada mereka. Penuh pertanyaan yang menghampiri mereka tapi tidak ingin lebih dalam mencampuri urusan yang tidak seharusnya diurus, mereka lebih memilih diam dan mengikuti alur.
Sekarang Ryan dan calon istrinya yang dipanggil Yesha oleh keluarganya itu, tengah makan di suatu restoran mewah. Tentu saja permintaan dari wanita tersebut bukan Ryan. Ryan terlalu enggan hanya untuk sekedar berbicara dengan wanita didepannya ini.
Tidak sengaja matanya melihat perempuan yang selalu dia rindukan, perempuan yang dicintai. Tidak sadar juga kakinya melangkah kearah sana, bahkan dia tidak mendengar suara yang memanggil namanya. Kakinya terus menerus melangkah pada perempuan yang sedang asik pada handphone nya.
"Hei?" panggilnya sedikit kaku.
Perempuan tersebut mengalihkan pandangannya dari layar handphone saat suara yang begitu akrab terdengar.
"Ah, hai. Gimana kabarnya?" senyum itu terlihat tapi hanya senyum tipis yang Ryan lihat.
"Tidak baik. Kamu sendiri bagaimana?" hubungan mereka terlihat kaku daripada seperti biasanya, sejak hari dimana dia mengucapkan kalimat putus.
"Kita ini seperti orang asing aja, gimana ceritanya kamu sekarang?" Ryan tahu, Pani bertanya seperti itu biar tidak canggung lagi. Tapi, entah mengapa ini terasa sulit bagi dia?
"Eh, bukannya ini Mbak yang waktu itu ya?" celetuk seseorang membuat Ryan kesal apalagi mendengar kalimatnya.
"Kemarin gak sempat kenalan." dia menjulurkan tangannya. "Namaku Ayesha carlissa, panggil aja Ay."
Pujaan hatinya, menyambut uluran tangan tersebut sambil tersenyum. "Stephani Yolanda, panggil aja Pani."
"Oh Mbak Pani, jangan lupa datang dipernikahan kami empat hari lagi ya," ucapnya sambil tersenyum. Ryan menatap tajam pada wanita disampingnya tersebut, Ay yang merasa ditatap, menatap kembali kesampingnya terkejut dengan tatapan tajam yang diberikan Ryan padanya.
Ryan mengalihkan tatapannya kedepannya, tapi bukan tatapan tajam yang Ay lihat melainkan tatapan sayang, kerinduan dan kesakitan menjadi satu dimata itu.
"Ah, kalau gitu insyaallah saya akan datang, bila ada waktu."
"Aku..." ucapan Ryan terpotong oleh suara laki-laki sambil berjalan mendekat kearah mereka. "Dek, udah makannya. Yuk pulang, kamu... Eh, ada temanmu kah? Maaf tadi gak lihat kirain gak ada."
"Halo semuanya, maaf banget mengangguk kalian. Tapi dia harus pulang sekarang," ujarnya sambil sedikit membungkukan badannya membantu Pani tegak.
"Mari semua aku harus pulang dulu, kapan-kapan lagi kita bertemu kembali. Assalamualaikum." salam terakhir Pani sebelum meninggalkan mereka berdua.
Ryan sedikit terkejut, tetapi dia mengucapkan salam didalam hatinya.
Setelah sampai dimobil Arya, Pani mengalihkan pandangannya keluar. "Kalau mau nangis, nangis aja. Aku udah bosan lihat kamu nangis."
Mendengar kalimat Arya bukannya kesal, dia malah menangis. Tadi dia tahan-tahan agar tidak menangis didepan orang yang dia cintai, menampilkan bahwa dia baik-baik saja.
Tapi, hanya beberapa kata yang dia dengar dari wanita, calon istri dari laki-laki yang ia cintai. Oh, Mbak Pani. Jangan lupa datang di pernikahan kami empat hari lagi. Kalimat itu langsung seketika menghantam benteng yang sudah dibuatnya, benteng kuat yang langsung dihancurkan sekaligus.
"Kenapa kamu menyerah begitu saja? Padahal kamu bisa bersama dengan dia..."
"Bersama untuk sesaat? Tidak, aku... Ini yang terbaik diantara kami." Dia langsung menyela ucapan Arya.
"Tapi..."
"Tolong jangan dibahas lagi... Uhuk... Uhuk..." Arya segera memberikan tisu yang berada dimobil. Dia begitu panik apalagi melihat keadaan Pani yang tambah buruk. Tanpa pikir panjang, dia putar stir menuju kerumah sakitnya.
Kalau tahu akan seperti ini, Arya tidak akan setuju dengan permintaan Pani ke restoran tersebut, bukan hanya keadaan nya yang tambah buruk tapi juga ketemu dengan mantan pacar sekaligus calon istri dari orang yang dicintainya.
Arya mengetahui bahwa mereka saling mencintai, tapi entah mengapa takdir membuat mereka seperti ini? Kesalahan apa yang dibuat Pani hingga dia mendapatkan masalah begitu sulit?
Dia hanya seorang gadis yang baik, menolong orang lain. Tapi, tidak tahu, mengapa setiap orang baik pasti mendapatkan masalah yang begitu sulit? Daripada mereka yang berbuat begitu banyak kejahatan.
Arya menggeleng, menepis semua tentang itu yang terpenting saat ini segera membawa Pani ke rumah sakit.
Setelah sampai dirumah sakit, Arya menggendong Pani hingga kembali keruangannya. Alat-alat yang sempat dilepas sekarang terpasang kembali ditubuh mungil tersebut.
Mengapa adik sekaligus sahabatnya itu harus mendapat begitu banyak cobaan? Dari mulai dia yang yatim-piatu sampai sekarang harus mengikhlaskan laki-laki yang dicintainya.
Tubuhnya yang mungil dan lemah itu, bagaimana bisa sanggup menahan semua ini?
Andini menepuk pundak belakang suaminya pelan. Arya menghapus air matanya yang menetes, dia memeluk Andini erat.
"Gak apa-apa, Mas. Mbak Pani pasti baik-baik saja," ucapnya menenangkan tapi dia sendiri tidak tenang.
~~
Suasana dimobil Ayah Ryan terasa dingin, walaupun cuaca panas. Ryan tidak ingin mobil atau barangnya yang lain, dipakai untuk wanita lain selain kekasihnya -Stephani Yolanda.
Wanita yang bernama Ayesha tersebut, ingin sekali berbicara atau sekedar membuka mulutnya untuk mencair kan suasana diperjalanan pulang kerumahnya.
Niat tersebut tidak jadi, melihat Ryan, calon suaminya yang seperti tidak tersentuh oleh siapapun. Begitu dingin dengan tatapan tajam nya, berbeda sekali saat dia bertemu ataupun bersapa dengan mantan kekasihnya.
Bahkan sampai saat ini dia tidak pernah mendengar Ryan berbicara kepadanya, seakan-akan dia menjadi bisu saat dekat dengannya.
Dia mengalihkan pandangannya dari Ryan, yang menurut dia mirip dengan Jung Yunho. Tegas, disiplin dan wajahnya yang tampan.
Ayesha menggeleng pelan, menghapus semua tentang pikirannya tersebut. Dia lebih memilih melihat ke ruang jendela.
~~
KAMU SEDANG MEMBACA
semangat kapten ✔
Lãng mạn[Follow dulu sebelum baca] Banyak orang iri dengan diriku, hanya karena pacarku seorang tentara. Padahal aku banyak kekurangan, baik bidang fisik maupun keluarga. Dia berjuang demi negara. Aku berjuang untuk tetap berdiri di sampingnya. Akan tetapi...