Stephani Yolanda.
"Ini obatnya jangan telat makan ya," ujar seorang pria yang menggunakan snelli saat ini duduk di depan ku, memberikan beberapa obat.
"Pani benaran cuman kelelahan, gak mau diperiksa dulu."
Aku menggeleng pelan sambil tersenyum manis, menyakinkan baik-baik saja. Lelaki yang berumur lima belas tahun diatas ku ini bernama Dokter Hadid. Dokter tampan diusianya yang tidak lagi muda ditambah dia seorang duda keren banyak diincar oleh pasien maupun perawat disini.
Tapi kalian tenang saja, aku cuman mengaguminya saja. Sebab sudah punya Ryan, tetapi bila tidak ada pasangan saat ini mungkin aku juga mau sama Dokter Hadid.
Bercanda, nanti dicuekin sama Ryan lagi, kan aku gak mau.
Lagian juga kami lebih cocok sebagai ayah dan anak daripada pasangan.
"Kalau ada apa-apa, jangan lupa langsung bilang sama paman saja."
"Baik, Paman."
Dokter Hadid juga menyuruhku menganggap dia sebagai Paman sendiri daripada seorang Dokter. Dia baik, perhatian dan penuh kasih sayang seperti seorang ayah.
Aku juga kadang merasakan kasih sayang seorang Ayah yang belum pernah aku rasakan.
"Kalau gitu, Pani pulang dulu Paman." pamitku sambil berdiri dari tempat duduk.
"Nanti dulu, kita pulang bersama. Paman antar, lagipun udah waktunya pulang." ucapan Dokter Hadid membuatku berhenti sejenak, menunggu ia membereskan dokumen.
Setelah menyelesaikan semuanya, kami berjalan beriringan, semua orang yang melihat dokter Hadid menyapanya baik anak-anak, remaja, maupun usia lanjut.
Dokter Hadid tidak pernah sombong walaupun dia yang mempunyai yayasan rumah sakit ini. Dia memandang mereka semua setara tanpa melihat dari sudut status. Dihadapannya tidak ada kaya maupun miskin, dia bijak dalam menyikapin semua permasalahan yang terjadi di rumah sakit ini.
Paman bagaikan Ayah kedua bagiku, ah, mungkin yang pertama, sebab aku tidak pernah dan tidak mengetahui siapa Ayah kandungku. Tetapi tetap saja harus bersyukur, harus semangat tidak boleh begitu putus asa terhadap hidup ini. Mungkin memang benar setiap orang sudah memiliki masalah masing-masing, jadi tidak perlu mengeluh.
"Pani benar baik-baik saja?" Dokter Hadid masih saja bertanya keadaanku, mungkin lebih tepatnya ia ingin memastikan.
Aku mengangguk sungguh-sungguh bahwa baik-baik saja, membuka pintu mobil Dokter Hadid, sebelum menyederkan tubuhku, aku lebih dulu memakai sabut pengaman.
"Benarkah?" tanya dia sekali lagi, sepertinya ingin mengetahui jawabanku yang keluar langsung berbicara kepadanya.
"Benar Paman, aku baik-baik saja. Serius," seruku dengan semangat.
"Kenapa gak mau diperiksa?"
Aku terdiam sesaat. Pertanyaan Dokter Hadid tidak salah, tapi tidak juga benar. Aku memang selalu menolak setiap kali mau diperiksa alasannya seperti umumnya hanya kelelahan saja perlu vitamin, tetapi tetap berobat hanya saja bukan dirumah sakit Dokter Hadid.
"Seperti biasa, Paman. Cuman kelelahan tapi udah diperiksa dikampus, hanya saja gak mau ngeluarkan biaya untuk menebus obatnya. Sebab itu kerumah sakit Paman, kan lumayan gratisan."
Dokter Hadid tertawa pelan, mungkin ucapanku terdengar seperti candaan tapi memang benar kalau ada yang gratis kenapa harus beli. Ya, walaupun sebenarnya obat yang saat ini ku butuhkan bukan ini tetapi bisa diletakan di panti.
"Dasar kamu. Yang gratis nomor satu ya, yang beli nomor sekian," ujar Dokter Hadid diselah-selah tawanya.
"Harus dong, lumayan uangnya bisa untuk yang lain."

KAMU SEDANG MEMBACA
semangat kapten ✔
Romance[Follow dulu sebelum baca] Banyak orang iri dengan diriku, hanya karena pacarku seorang tentara. Padahal aku banyak kekurangan, baik bidang fisik maupun keluarga. Dia berjuang demi negara. Aku berjuang untuk tetap berdiri di sampingnya. Akan tetapi...