SK '15 |sidang? sidang apa?|

93 15 5
                                    

Hah!

"Kenapa?" tanya Andini, menghampiri suaminya yang sedang melihat keluar jendela. Arya memandang istrinya sesaat sebelum memeluknya dari belakang.

"Mikir kan mbak Pani?" Andini mengelus kepala Arya yang berada dipundaknya. Arya mengangguk, "Dia itu selalu bikin orang khawatir aja."

"Mas juga tahu bukan gimana mbak Pani, tidak ada yang bisa merubah keputusannya."

Arya diam. Dia sadar, Pani selalu keras kepala. Dia sudah kehabisan akal mau bagaimana lagi, hampir semua cara dia lakukan tapi perempuan tersebut tetap saja pada pendiriannya.

Hah, sudahlah biarkan waktu yang menentukan dan menjawab semuanya!

**

Ryan menunggu diatas motor nya, bibirnya terangkat memperlihatkan senyum tipisnya ketika seseorang menghampirinya.

"Udah lama?" Ryan menggeleng, memakaikan helm pada kekasihnya.

"Gimana kuliahnya? Ada cerita yang asik apa enggak nih?" tanyanya. Ryan lebih menyukai bertanya seperti ini, begitupun Pani. Bagi mereka berdua hal tersebut lebih menyenangkan daripada basa-basi yang tidak diperlukan.

"Skripsi ku, setelah kedua kalinya tidak diterima. Akhirnya hari ini diterima!" isak tangis dari kekasihnya itu terdengar, mungkin sangking bahagia.

Ryan tertawa pelan mendengarnya, membuat kekasihnya itu memukul keras pundaknya. "Kalau gitu hari ini kamu yang traktir aku ya."

Pani memajukan bibirnya beberapa senti, Ryan yang melihat dari spion motor tersenyum. Sungguh menggemaskan!

"Oh, ayolah. Harusnya itu laki-laki yang traktir wanita."

"Oh, ayolah. Gak ada hukum sama sekali tentang itu." Ryan mengikuti gaya bicara kekasihnya.

"Karena suasana hati ku lagi baik. Oke, kamu aku traktir tapi gak lebih lima puluh ribu!"

"Pelit banget, sama sekali gak kenyang." cibir Ryan.

"Udah minta traktir, banyak mau juga." akhirnya terjadi adu-mulut selama perjalanan mereka menuju sebuah tempat makan.

"Mang, seperti biasa ya!" teriak Pani saat mereka sampai ditempat makan langganan mereka.

"Siap, neng!"

"Tidak pembeli, tidak penjual sama-sama suka teriak." Ryan menggeleng pelan, sambil duduk didepan Pani.

"Ryan?"

"Hm?" Ryan menatap kekasihnya. "Mau bicara apa? Gak usah ragu-ragu."

"Itu... Soal yang waktu itu.."

Ryan mengerutkan keningnya, tidak paham yang dibicarakan perempuan didepannya. "Waktu itu? Yang mana?"

"Em, soal waktu itu yang aku gak bisa datang dikafe biasa kita..." suara Pani merendah, "maaf."

Ryan terdiam.

"Kenapa juga bahas itu, kamu juga mungkin ada urusan yang mendesak. Itu juga udah lama, gak usah dibahas lagi ya."

Ryan tersenyum lembut memandang kekasihnya, begitupun Pani. Bisakah waktu berhenti untuk saat ini? Biarkan kami merasakan kebahagian ini lebih lama.

"Uhuk, uhuk. Maaf menganggu neng, akang. Ini pesanannya," ujar seseorang sambil meletakkan pesanan mereka berdua. "Mesra terus, undangannya jangan lupa."

"Insyaallah pasti di undang." Ryan sedikit tersenyum pada pemilik tempat makan langganan mereka. Pani yang sedang memegang sendok, refleks terjatuh dari genggamannya.

"Kenapa? Kamu baik-baik saja bukan?" tanya Ryan panik saat memandang kekasihnya yang pucat.

"Eh, gak apa-apa."

Ryan tidak puas mendengar jawaban kekasihnya, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa memandang Pani yang mulai memakan pesanan mereka.

"Mamang, ngantar pesanan kesana dulu ya. Dilanjutkan aja makanannya, jangan buru-buru, santai aja gak akan ada yang ngambil juga." canda pemilik tempat makan.

"Bisa aja, mang."

Meja yang terdapat dua insan tersebut kembali hening. Hanya dentingan sendok dan kebisingan yang terdengar diantara mereka berdua.

"Ryan, gak terasa ya aku udah mau sidang aja." suara Pani memecahkan keheningan.

"Hah? Sidang? Sidang apa? Sidang pengadilan?"

"Ish kamu ngeselin banget sih, jadi orang!"

Ryan tertawa pelan mendengarnya. Dia meneguk minumannya. "Canda, serius banget... Iya, kamu harus belajar yang semangat biar mudah sidangnya nanti."

Pani mengangguk tegas, "pasti!"

"Mau pulang kah? udah malam." Ryan melihat jam tangannya yang menunjukan hampir jam sembila malam.

"Iya, padahal tadi masih sore. Gak terasa cepat banget waktunya berjalan," kata Pani membenarkan.

"Tahu gak kenapa waktu terasa begitu cepat berjalan?"

Pani menggeleng, "emang kenapa?"

Ryan tersenyum, senyum tulus yang dia miliki. "Sebab ada kamu disisi aku, menjadikan waktu yang kumiliki begitu cepat berlalu dan berarti."

Pipi Pani memerah mendengar kalimat tersebut, tidak ada kata-kata buaya tapi itu murni dari dalam hati Ryan.

"Bisa aye kang gombal." Pani tertawa pelan, menampilkan sikap tenangnya padahal tidak. Ryan hanya tersenyum sambil menatap rekat wajah kekasihnya itu.

"Udah ah, aku mau bayar dulu kamu pergi ke pakiran situ." usir Pani sambil berjalan kearah pembayaran.

"Berapa, Mas?" tanyanya, saat ingin mengeluarkan uang, kasir tersebut sudah lebih dahulu berbicara. "Maaf mbak, pesanannya sudah dibayar oleh seseorang."

"Serius kah?" penjaga kasir mengangguk, membenarkan ucapannya. "Benar, mbak."

"Kalau gitu terima kasih." penjaga kasir mengangguk, "sama-sama, mbak."

Pani menghampiri Ryan yang duduk tenang diatas motornya dengan tidak senang. "Untuk kesekian kalinya aku bertanya kepada Bu kapten, ada gerangan apakah hingga tidak senang seperti itu?"

Pani mencibir, pacarnya ini sok-sokan tidak mengetahui. "Gak usah sok gak tau deh." Ryan tertawa pelan. "Kamu ngapai pakai acara bayar, kan aku udah bilang, aku yang traktir kamu, gimana sih!"

"Mana ada? Tahu dari mana aku yang bayar?"

"Alah paling juga pas aku permisi ke toilet tadi kan, kamu yang bayar."

Ryan tertawa, tidak mungkin dia meminta kekasihnya ini membayar pesanan tersebut, apalagi dia mengetahui bahwa Pani selalu menyisihkan uangnya untuk panti.

"Udah terlanjur juga, duit kamu lebih baik untuk yang lain juga."

"Makasih," ucap Pani begitu pelan tapi masih terdengar ditelinga Ryan. Ryan melajukan motornya santai, dia ingin menikmati moment yang sangat jarang terjadi ini.

**

Pani membuka pintu kamarnya, dia berjalan ke sebuah lemari terdapat susunan buku-buku, mengambil salah satu buku berwarna putih bersih. Setiap ia membuka lembar demi lembar hanya terdapat tinta hitam tulisannya.

Hingga sampai dilembar selanjutnya yang masih putih kosong, dia mulai menggerakkan tinta hitam lembar tersebut.

Tangannya tidak berhenti bergerak, mencurahkan apa yang dia pikirkan. Sebuah senyum mengembang, senyum tulus yang dia miliki.

Kegiatan seperti ini, sudah dia lakukan sejak setahun yang lalu.

semangat kapten ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang