SK '10 |keras kepala|

106 19 10
                                    


Pani baru saja menyelesaikan makan malamnya, setelah cukup lama mengistirahatkan perutnya dia pun berjalan keluar dari rumah kos, ketika mengingat dia harus menemui seseorang.

Selama perjalanan, perempuan berhijab coklat dengan jaket tebal yang menutupi tubuhnya itu melamun memandang genangan air, sebab hujan deras baru saja mengguyur salah satu permukaan bumi.

Dia mengingat sikap pacarnya yang berbeda ketika mengantarnya pulang, bahkan berbicara saja hanya sepata-kata. Seakan-akan kembali lagi pada sikapnya dahulu, dingin tak tersentuh.

Pani tidak tahu ada apa dengan Ryan? Apakah dia ada berbuat salah? Tapi apa yang dia lakukan hingga membuat Ryan seperti itu?

Dia menggeleng pelan, mengusir prasangka serta pertanyaan demi pertanyaan yang ada di kepalanya.

Tidak disangka Pani telah sampai ketempat tujuannya, sebuah bangunan tinggi dan mewah.

Langkah kakinya berjalan ke sebuah ruangan dilantai ketiga. Ketika sudah sampai, dia memencet bel diruangan 135 tersebut. Tidak beberapa lama, terlihat perempuan cantik dengan baju tidurnya membukakan pintu.

"Oh, Mbak Pani. Ayo masuk," tuturnya mempersiapkan Pani untuk masuk.

"Terima kasih, maaf malam-malam menganggu."

"Tidak apa-apa, Mbak. Silahkan duduk dulu, aku panggilkan Mas Arya nya."

Pani mengangguk, menundukkan tubuhnya disofa. Tidak perlu menunggu lama, sosok laki-laki tampan dengan kaos polosnya datang. Dia duduk tepat didepan Pani, meja tamu sebagai batas mereka.

"Kamu datang telat," tandasnya.

Pani cuman tersenyum saja, membuatnya menghela nafas. Dia mengambil minuman yang dibawah oleh perempuan yang membuka pintu tadi.

"Jadi?"

Laki-laki yang namanya Arya tadi berjalan kearah sebuah pintu yang merupakan ruang kerjanya, setelah cukup lama dia kembali lagi dengan sebuah map.

Dia menatap Pani dengan tatapan tegas tapi juga tersirat kesedihan. "Sudah tau bukan keadaan kamu gimana?"

"Terus kenapa gak mau di kemoterapi?" tanyanya kembali saat melihat perempuan didepannya mengangguk.

Pani berjalan ke sebuah jendela, dia membuka tirai itu sedikit hingga terlihat lampu jalan ataupun kendaraan. "Dini?" panggilnya.

Perempuan yang membuka pintu tadi namanya adalah Andini, dia menjawab dengan nada halus. "Ya, Mbak."

"Coba kamu kira-kira kan, berapa biaya kemoterapi?"

Andini menjawab setelah cukup lama tertegu, "sekitaran jutaan. Mungkin mulai dari satu jutaan hingga puluhan juta rupiah."

Pani menutup kembali tirai tersebut, berjalan kearah mereka berdua. Dia duduk kembali ketempat semula, dipandangnya Arya dengan tegas.

"Itu hanya untuk sekali kemo, bagaimana kalau berkali-kali? Biaya yang harus dikeluarkan juga lumayan banyak."

"Tapi, kalau terus begini ...." Pani langsung memotong ucapan Arya, "aku tau, tapi semua uang itu bisa untuk biaya panti satu bulan atau bahkan lebih. Itu lebih berguna daripada buang-buang uang untuk kemoterapi."

Pani meminum teh yang tadi disajikan oleh Andini. Pani menghela nafas, sebelum melanjutkan kembali ucapannya, "Kakak juga tau bukan, sebagai dokter bagaimana efek sampingnya."

"Aku paham soal itu. Tapi sebagai dokter, sahabat dan Kakakmu, seharusnya kamu mengerti yang aku inginkan itu kesembuhanmu, tidak butuh yang lain. Kalau kamu begini terus, itu akan menambah parah penyakitmu. Kamu paham soal ini bukan?!"

semangat kapten ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang