SK '14 |sama-sama batu|

89 14 6
                                    

Stephani Yolanda.

Aku merasa sekujur tubuhku pegal, dan dibeberapa area terasa sakit, belum lagi terasa ada sesuatu yang menebus kulitku. Saat ini juga aku ingin membuka mata dari kegelapan, tapi mata ini masih susah untuk dibuka walaupun hanya sedikit.

Aku terus berusaha membuka mata ini, benar kata orang 'kerja keras tidak akan mengkhianati hasil.' Aku berhasil membuka mata walaupun cahaya begitu terasa menusuk saat ini. Tapi tidak apa-apa, kita coba sekali lagi untuk membuka mata dengan pelan-pelan.

Akhirnya aku bisa melihat lebih jelas, dimana aku berada dan mengapa ada sesuatu yang menebus kulitku? Ternyata ini rumah sakit, ruang rawat inap yang sudah beberapa kali aku masuk ke ruangan ini.

"Mbak Pani, sudah sadar?" terkejut seseorang yang tidak lain adalah Andini. "Dokter! Mas! Mbak Pani sadar!" teriaknya heboh sambil beberapa kali memencet bel didekat ranjang ku, bel untuk memanggil dokter atau suster.

Beberapa orang datang, terlihat disana juga ada Arya dengan pakaian dokternya. Mereka memeriksa ku sesekali bertanya adakah bagian yang tidak nyaman atau terasa sakit? Aku hanya menjawab seadanya.

Setelah mereka semua pergi hanya meninggalkan aku bersama kedua suami istri ini. Arya sudah menatapku dengan pandangan, ya yang aku akui bahwa dia sedang kesal, ah lebih tepatnya marah mungkin?

"Kamu kira, nyawamu itu sebanyak kucing apa? Sudah tau sakit, sudah tau gak mau diobati tapi masih saja keluyuran sana-sini. Mau mu itu apa sih? Coba saja tadi aku gak datang tepat waktu, kamu sudah pasti isdet, gak ada lagi didunia ini. Kamu anggap apa nyawamu itu hah?!"

Dia marah kan. Memang sih kalau Arya sudah marah besar seperti ini kata-katanya itu menyakiti jiwa raga kita, tapi aku bisa mengerti mengapa dia begitu marah.

Aku hanya tersenyum kecil, yang mana malah membuatnya kembali marah tapi keburu dihentikan sama Istrinya, eh dianya malah langsung kincep. Dasar bucin!

"Hah, bisakah kamu kalau lagi skarat tuh mengingat tuhan bukan mengingat Ryan?" sinisnya sambil menduduki tubuhnya disofa.

Aku menatapnya bingung. "Eh? Kapan aku bilang seperti itu?"

Tanpa menjawab pertanyaan ku, dia berkata, "Ck, kau ya giliran ada mau nya aja manggil Abang, coba lihat sekarang enggak tuh."

Aku tertawa pelan, memandang kearah Andini yang sedang mengupas buah apel. "Sudah berapa lama aku gak sadar, dini?"

Andini melihat kearahku sebentar sambil memberikan potongan apel yang dia kupas. "Dua hari, Mbak."

Aku mengangguk, pantasan badan ini begitu pegal. "Aku mau jalan-jalan," pinta ku.

Andini membantuku untuk duduk ke kursi roda, sebelum langkah kaki kami meninggalkan ruangan, suara Arya lebih dulu menentang kami. "Kamu gak boleh kemana-mana! Masih sakit aja mau keluyuran! Lebih baik kau telepon si Ryan itu, daripada dia cemas."

Aku terdiam.

Oh ya Ryan! Pasti dia khawatir dengan keadaan ku sekarang, ya walaupun dia sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi. Tapi mengingat bahwa kemarin kami ingin bertemu, setelah nya aku tidak datang, sudah pasti dia cemas sekarang.

"Halo," suara lembut itu terdengar, aku menutup mulut menahan tangis. Setiap mendengar suaranya, aku selalu tidak bisa menutupi semua yang kurasakan.

"Assalamualaikum, sayang. Kamu baik-baik saja, bukan? Kenapa tidak berbicara?"

Aku berdehem pelan sebelum berbicara. "Wa'alaikumsalam, aku baik-baik aja. Gimana kamu disana?"

"Alhamdulillah, baik. Oh ya, kamu sibuk banget sampai-sampai dua hari ini gak ada kabar sama sekali?"

"Lumayan sibuk, ada beberapa acara di tempat kerja."

"Jangan terlalu capek, dengar. Kamu juga bukannya udah dibilangin gak usah kerja, batu sih."

"Ihh, kok batu sih. Kamu juga keras kepala, bukan aku aja," kataku. Pandanganku berahli pada dua insan di dekat ku, yang mana mereka saling menebar kemesraan. Gak tau apa kalau disini ada yang sendiri!

"Cih, sok romantis." cibirku pada Arya yang sedang menggombal Andini, membuatku tambah muak saja.

"Biarin, istri sendiri juga." aku tatap tajam Arya, yang menatap tidak kalah tajam.

"Bicara sama siapa?" suara tanya dari benda pipi di tangan ku mengalihkan perhatianku dari Arya.

"Ah, enggak itu tadi bicara sama salah satu teman."

"Oh ya?"

"Iya, gak percaya banget."

"Percaya kalau cuman teman, emang ada yang mau sama kamu selain aku."

"Jangan salah ya, banyak yang ngantri mau jadi pacar aku. Apalagi yang nungguin kita putus."

"Halah hayalan kamu aja tu."

"Loh kok gitu sih, enggak ya!" kesal banget kalau dia sudah bilang seperti itu. Aku tahu kalau sering menghayal setelah membaca buku atau cerita yang menarik. Tapi kalau untuk yang satu ini, tidak ya.

Terdengar tawa dari Ryan, dia suka banget bikin aku kesal untuk hal ini, banyak sih tapi ini salah satu nya. "Uhuk, kalaupun ada yang suka sama kamu, aku gak melarang. Tapi kalau dia mengambil kamu dariku, aku tidak akan membiarkannya sama sekali!"

Aku hanya mengangguk saja, walaupun sadar dia tidak bisa melihatnya. "Iya, udah dulu ya acaranya mau dimulai. Aku tutup dulu, assalamualaikum."

Setelah mendengar ucapan salam darinya, ku pandang jauh keluar jendela rumah sakit. Ucapan Ryan yang terakhir, membuatku sedih. Mungkin dia lupa, bahwa akan ada saatnya dimana dia tidak akan bisa melakukan apa-apa ketika aku sudah diambil oleh-Nya.

semangat kapten ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang