SK '20 |khawatir |

119 13 3
                                    


Agus pratama berjalan cepat, mendorong setiap orang yang menghalangi jalannya. Rumah besar ini penuh dengan orang-orang yang sibuk sana-sini. Ketika pandangannya jatuh pada laki-laki yang sejak tadi dia cari, dia segera menghampirinya.

Tanpa aba-aba, ia langsung meninju wajah tersebut. Tapi, yang punya wajah hanya biasa-biasa saja, tidak membalas sebab dia tahu alasan dari tinju tersebut.

Orang-orang yang berada disekitar sana berteriak histeris melihat hal tersebut. Hingga pemilik rumah datang melihat ke mereka.

"Agus, apa yang kamu lakukan?!" teriak Sang kepala keluarga merasa marah dengan yang dilakukannya.

"Maaf, om. Tanganku gatal, gak sengaja memukul Bang Ryan." katanya tidak merasa bersalah, dia merangkul Ryan dengan gerakan seperti biasa. "Ada yang ingin aku bicarakan sama Bang Ryan, kami permisi sebentar, Om, Tante." permisi nya membawa sepupunya kekamar milik Ryan.

"Maaf, Bang. Walaupun aku tahu alasannya, tapi aku masih ingin memukul Abang." cetusnya saat mereka sudah sampai dikamar, ia melebarkan tubuhnya dikasur milik sepupunya.

Ryan mengangguk. "Untung ada kamu yang memukul. Bahkan ini belum seberapa dengan apa yang aku lakukan kepada dia." Dia menundukkan pandangannya, pandangannya mulai berair kembali. Dia ingin melakukan sesuatu tapi tidak ada yang bisa ia lakukan, dan itu membuatnya muak dengan dirinya yang lemah ini!

Agus menegakkan tubuhnya, melihat sepupunya tengah menunduk. Dia perhatikan dengan seksama, tubuh yang biasanya tegas dan tegap itu seperti sudah hilang penyokongnya, hanya meninggalkan tubuh yang lemah.

Agus berdiri berjalan mendekat kearah Ryan yang sedang duduk disofa. Ia tepuk pelan pundak sepupunya beberapa kali. Dia juga bingung, tidak punya apa-apa untuk membantu.

Satu hari lagi pernikahan ini akan dilaksanakan, apalagi setelah dia mengetahui siapa wanita yang menikah dengan Ryan. Sosok wanita yang selalu ingin dia capai, ingin bersama dengannya. Ternyata dulu dia salah info bahwa wanita tersebut akan menikah dengan orang luar negeri, tapi wanita itu lah yang pergi keluar negeri.

Sekarang saja dia sudah frustrasi, apalagi yang dihadapi sepupunya. Menghancurkan hati perempuan yang dia cintai, dan mengabarkan bahwa dia akan menikah padahal hubungan mereka baru saja kandas. Bukan hanya itu, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan sama sekali. Betapa frustrasi itu?

~~

"Tika?"

"Ya, tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Tika yang buru-buru menghadap pemilik dari Morgan House ini.

"Apakah kamu melihat cucu ku, sudah hampir seminggu aku tidak melihat dia datang?" tanya kakek Sigit merasa khawatir atas cucu angkatnya tersebut, bahkan tidak memberi kabar lewat telepon.

"Tidak, tuan. Saya hanya melihat dia berkerja terakhir kali, hari minggu."

"Ais, kemana juga tuh anak bikin aku khawatir? Ya sudah, kamu lanjutkan lagi perkerjaanmu. Kalau dia ada memberi kabar, jangan lupa bilang padaku."

"Baik, tuan!" ucap Tika tegas. Dia menunduk sedikit, sebelum pergi dari sana.

Tika merasa perasaannya kurang nyaman, dia juga khawatir dengan sahabatnya yang baik itu, sudah hampir seminggu dia tidak mengabarkan nya, biasanya hanya pesan satu atau dua pasti dibalas, ini sudah banyak tapi tidak juga dibalas. Hah! Semoga aja dia baik-baik saja!

~~

Disebuah rumah sakit, sosok dokter duren sedang tidak fokus dengan apa yang ia kerjakan. Dia lepaskan kacamata yang terpasang, menghela napas sesaat sebelum menyenderkan badannya pada kursi.

Dia memijat pelipisnya, membuka layar handphone nya. Hah, kenapa tidak ada sama sekali pesan darinya?!

"Hadid!" teriakan tersebut membuatnya terkejut, hingga terbangun dari sandaran nyamannya.

"Ayah! Bisakah kalau masuk itu, ngucapkan salam?" tukasnya menatap datar Ayahnya yang duduk dengan santai.

"Kamu itu yang salah, Ayah udah beberapa kali ngucap, kamu aja yang gak dengar."

"Iya... Iya... Aku yang salah," ucapnya daripada masalah lebih besar kemana-mana. Ayolah dia sekarang sedang tidak ingin apa-apa, dia hanya ingin kabar dari salah satu orang yang bisa dibilang terpenting di hidupnya.

"Emang kamu mikir kan apa? Sampai segitunya."

Dokter duren atau dokter Hadid itu, menghela napas kasar. Mengacak rambutnya dengan gerakan cepat.

"Kau frustrasi? Karna apa? Pacar barumu atau para fansmu?"

Dokter Hadid menatap Ayahnya kesal. "Ayah!"

Ayahnya tertawa pelan, melihat anaknya marah. Dia mendelik tidak senang. "Apa?"

Dokter Hadid menggeleng pelan. "Tidak, hanya khawatir sama seseorang saja."

"Hm, anak gadis yang kamu anggap anak sendiri itu?" Dokter hadid mengangguk. "Oh, terus dia kenapa? Eh, namanya siapa? Ayah lupa."

"Dia sudah lama gak ngabarin aku, mana enggak aku khawatir. Namanya Pani, Stephani Yolanda."

Ayahnya mengangguk pelan. "Oh, Stephani Yolanda, toh." tidak beberapa lama Ayahnya itu berteriak, "apa Pani?"

Dokter Hadid memandang Ayahnya bingung. "Kenapa, yah?"

"Loh dia kerja sama Ayah, yang sering Ayah ceritakan sama kamu itu. Cucu angkat Ayah."

Dokter Hadid menganga, otaknya seakan berhenti berkerja untuk beberapa saat. "Hah, betulkah?"

"Tentu saja betul! Kau kira Ayah bohong!" sentak dia kesal akan kelakuan anaknya itu.

"Kenapa bisa begini?" tanya dokter Hadid bingung. "Mungkin takdir."

"Sudahlah, Ayah juga khawatir dengannya, sudah hampir seminggu aku tidak melihatnya."

Dokter Hadid berdecak pelan. "Ck, baru juga seminggu..." ia berhenti bicara ketika sebuah benda melayang kearahnya. Memandang kearah Ayahnya yang sedang menatap dia tajam.

Dia segera mengaruk bagian kepala belakangnya yang tidak gatal. Ayahnya ini walaupun sudah berusia lanjut tapi masih terlihat gagah, bagaimana tidak dia mantan anggota tentara angkatan udara.

Hah! Dimana kamu Stephani Yolanda? Tapi dimanapun kamu berada, kami harap kamu baik-baik saja.

~~

semangat kapten ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang