SK '8 |mesra di panti?|

137 22 9
                                    


Diakhir bulan Maret ini, terlihat perempuan cantik dengan hijab hitam menutupi rambut lurusnya. Baju gamis yang dia kenakan begitu selasi dengannya, setiap mata yang memandang seakan-akan tidak ingin mengalihkan pandangan darinya.

Senyum dan tawanya disela-sela bermain bersama anak-anak panti begitu sejuk, membuat hati siapapun merasa tenang.

Hanya dihadapan mereka dia tertawa lepas, menampilkan sosok lembutnya. Hanya kepada mereka, dia tidak memperlihatkan sikapnya saat bersama pacarnya.

Sudut bibir Ryan terangkat, terlihat senyum kecil di wajah tampannya. Dia belum ada niat untuk beranjak berjalan kearah kekasihnya. Masih ingin menikmati pemandangan didepannya, yang mungkin hanya sebulan sekali kekasihnya itu tertawa lepas.

"Ayo coba tebak ya, kalau kalian bisa menebak nya nanti mbak berikan hadiah."

"Wah, Ahmar mau mbak, pasti nanti Ahmar yang menang!" seru salah satu anak panti bernama Ahmar.

"Pasti aku dong, yang menang!" tidak mau kalah, anak panti yang lain pun berseru semangat.

"Oke, oke. Gak usah berantem ya, kita mulai sekarang aja gimana. Siap gak nih?"

"Siap!"

"Dia ada dimalam hari, banyak dilangit dengan bercahaya terang kecil. Apakah dia?" tanya kekasihnya, sambil memandang anak panti didepannya dengan senyuman. "Ayo tebak, ada yang tahu gak nih?"

Anak panti yang berusia antara lima sampai delapan tahun mulai sibuk berpikir. Sedangkan untuk usia dibawah atau diatas mereka, mempunyai kegiatan sendiri.

"Bintang!" seru anak panti secara bersamaan, membuat kekasihnya dan beberapa pengurus panti tertawa melihat tingkah mereka yang tidak beberapa lama saling bertengkar kecil karena jawaban mereka sama.

"Udah gak usah bertengkar lagi, ini mbak berikan hadiahnya. Tapi saling bagi-bagi ya." mendengar ucapan tersebut mereka mengangguk patuh.

Saling berbagi coklat, sebab itulah hadiahnya. Dibagi rata oleh mereka, tidak ada yang tidak dapat, semuanya mendapatkan.

Ryan merasa nyaman dihatinya, lihatlah anak-anak saja bisa berbagi satu sama lain tapi mengapa kita yang dewasa serakah?

Bukan hanya itu, lihatlah baru beberapa detik yang lalu mereka bertengkar tapi di detik selanjutnya mereka berbaikan. Terus, mengapa kita begitu susah? Sangat suka mencari musuh untuk diri sendiri.

"Nak Ryan?" suara wanita mengalihkan pandangannya dari mereka.

"Iya, Bu." Ryan menyalim tangan wanita yang memanggil dirinya tadi. Ibu Wulan, salah satu pengurus panti.

"Kenapa gak kesana sama Nak Pani?" senyum Ibu Wulan terlihat di wajah yang tidak semulus saat dia muda dulu.

"Nanti kesana, masih mau melihat pemandangan."

Ibu Wulan mengangguk mendengar jawabannya, dia pun memandang kearah Pani dan anak panti.

"Cepat halalin dong, biar bisa punya anak sendiri." celetuk Ibu Wulan membuat Ryan tersedak ludah sendiri.

"Uhuk, belum waktunya, Bu."

Ibu wulan melirik sedikit kearah Ryan sebelum kembali memandang anak panti nya, lebih tepatnya memandang Pani. "Jangan bilang begitu terus, nanti keburu diambil orang lain lho."

"Iya, Bu. Insyaallah secepatnya."

Ibu Wulan mengangguk, dia menepuk pelan pundak Ryan sebelum berlalu pergi kearah anak panti. Terlihat Ibu Wulan berbicara kepada kekasihnya, tidak beberapa lama wajah kekasihnya itu memandang kearahnya dengan sebuah senyum. Dia berjalan kearah Ryan sedikit berlari.

"Kenapa gak bilang kalau mau kesini?" Pani bertanya sedikit berbata-bata, membuat Ryan terkekeh pelan.

"Masa jarak sedekat ini saja kamu capek, kalau begini terus aku akan pastikan kamu mulai olahraga lagi."

"Gak mau!" Ryan tertawa, ketika ucapannya ditolak mentah-mentah oleh kekasihnya.

"Kamu belum jawab ya, pertanyaan ku tadi." kekasihnya sungguh mengemaskan apalagi wajah merajuknya terlihat sekali dengan kedua tangan yang terlipat didepan dada.

"Kejutan dong."

Ryan mencubit hidung Pani pelan, membuat Sang empuk menggeram tidak suka atas perilaku pacarnya.

"Jangan gitu, hidung aku udah pesek, kalau hilang bagaimana?" tanya Pani sambil mengelus hidungnya.

"Tinggal pasang lagi."

Pani mendengus sebal mendengar ucapan santai Ryan, ingin rasanya dia membuang pria ini ke kotak sampah, tetapi diurungkan gak ada untung nya juga.

Kesunyian melanda mereka berdua, tidak ada yang berbicara. Sebenarnya baik Ryan maupun Pani banyak yang ingin mereka ucapakan, tetapi seakan-akan hilang entah kemana ketika mereka sudah bertemu.

"Gimana kerjanya? Lancarkan?" Pani terlebih dahulu berbicara, dia tidak suka kesunyian.

"Ya, seperti biasanya. Tapi ..." jeda Ryan membuat Pani mengadakan pandangannya pada pacarnya, yang ternyata sedang memandangnya. Mata mereka berdua bertemu, menatap penuh intens. Kerinduan terpancar dimata mereka, sudah hampir sebulan tidak bertemu tetapi seakan itu sangat lama.

"Tapi?"

Ryan tersenyum, senyumnya tipis, tapi mempunyai banyak makna bagi Pani. Senyum itu paling menenangkan disaat risau nya, menyebalkan pada saat bersamaan dan senyum itu memberinya kekuatan. "Tapi ... karena kamu tidak ada didekatku, maka semuanya terasa hampa."

Pani merona, dia menjadi salah tingkah. Kata-kata ini lebih memabukkan daripada biasanya. Hatinya dibuat tidak karuan, jantungnya berdetak cepat. Apakah ini sebuah mimpi? Kalau iya, tolong jangan bangunkan dirinya.

"Jangan dicubit, sakit." ringis Ryan membuat Pani tersadar, ternyata secara tidak sadar dia mencubit tangan kiri pacarannya.

Dia langsung salah tingkah, meminta maaf dan bertanya penuh khawatir. Ryan tersenyum kecil, kekasihnya tidak pernah berubah.

"Tenanglah... Ini gak sakit lagi," ujar Ryan pelan dia mengelus puncak kepala kekasihnya yang tertutup dengan hijab.

"Benarkah?" Ryan tersenyum menenangkan, "benar, jangan khawatir. Mari kita ketempat anak-anak aja, yuk."

Ryan mengalihkan pembicaraan mereka, bila diteruskan dia bisa pastikan, ini akan menjadi lama.

Pani mengangguk, Ryan menggandeng tangan kekasihnya tersebut kearah anak-anak panti.

Ryan ingat disini lah mereka mulai dekat dulu, tidak ada angin, tidak ada hujan, dia hanya ingin kesana. Ya walaupun dia akui dulu sikapnya tidak selembut dan semanis ini kepada Pani.

Ternyata Ryan sadar, bahwa kekasihnya, Stephani Yolanda telah banyak mengubah hidupnya.

"Cie... Cie... Abang Ryan dan mbak Pani." sorak anak panti ketika melihat mereka berdua, sedangkan pengurus panti malah ikut-ikutan membuat Pani salah tingkah ditambah detak jantungnya yang berdetak cepat.

Berbeda dengan Pani, Ryan biasa-biasa saja. Dia hanya menampilkan senyum tipis pada mereka.

Mereka berdua ikut duduk disana, bukan hanya itu mereka juga ikut bermain. Anak panti yang tadi sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, ikut menghampiri Ryan dan Pani.

Ryan dan Pani memang cukup terkenal di panti ini, kalau Pani sudah pasti dia sering datang kesini untuk membantu apalagi dia sebagai salah satu pengurus panti ini. Untuk Ryan, tentu saja selain sebagai gandengan Pani, dia merupakan investor panti ini.

"Wah! ada Bang Ryan," ujar beberapa anak panti. Ryan ini memang lebih banyak penggemarnya di panti atau mungkin diluar juga daripada Pani.

Perempuan cantik tersebut hanya tersenyum saja, tidak ada niatan lain. Bisa bertemu dan menjadi pacar dari Ryan Putra Arifin dia sudah sangat beruntung dan bersyukur.

Ryan memandang kearah kekasihnya, Pani tersenyum manis sebelum ikut bermain dan berbincang pada yang lainnya.

Hari ini mereka sudah cukup merasa bahagia dengan beberapa waktu yang dihabisi oleh keduanya.

semangat kapten ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang