"Being self-made means putting yourself in position to help others put themselves in position to be successful." A Boogie wit a Hoodie
...
Tantangannya selesai sampai sana? Belum.
Lorong yang tadi dihampiri El Gran berujung pada tangga-tangga melingkar yang memusingkan lagi. Mendadak, semua pandangan mata flock Kristof terdistorsi menjadi spiral-spiral memusingkan. Mereka tak bisa melihat garis lurus. Semua garis lurus, misalnya anak tangga, berubah tak beraturan, sehingga mereka tak begitu yakin apakah langkah mereka cukup atau tidak.
Alhasil, Kevin dan Leila terguling-guling menuruni anak tangga karena tak bisa melihat dengan normal.
"Tutup mata kalian!" pekik Ikram. "Berjalan tanpa melihat! Tutup!"
Kristof menutup matanya, tetapi dia tetap dapat melihat ruangan tersebut. Dia dapat merasakan sebesar apa ruangan itu, atau ada berapa anak tangga, atau dimensi yang dibangun, semua dipetakan dengan mudah dalam kepala Kristof. Dan, tak ada distorsi apa pun dari yang dia rasakan. Yang pasti, teman-temannya kini berjalan seperti tunanetra, atau orang yang meraba-raba dalam kegelapan.
Yoshi paling tenang, tetapi tetap saja dia tak dapat melangkah cepat. Ikram menuruni tangga dengan cara duduk di setiap anak tangga lalu turun satu per satu. Alaiza, lagi-lagi mengeluarkan suara untuk mengetahui pantulan gaungnya, kemudian dia memetakan sendiri sejauh apa anak tangga berada dari kakinya.
Kristof menggunakan kemampuannya untuk membantu Kevin dan Leila hingga berada di anak tangga paling bawah. Di sebuah lorong lain yang panjang. Setelah memastikan Kevin dan Leila aman, Kristof membantu Yoshi, lalu Alaiza, dan terakhir ... Ikram.
Sayangnya, ketika Kristof berhasil membawa Ikram ke anak tangga terbawah ...
... keempat temannya yang lain sudah tak ada di tempat.
Mereka hanya berdua aja di sana.
"Di mana yang lain?" gumam Kristof.
Ikram masih belum membuka matanya karena distorsi pandangan itu masih terjadi. Daripada dirinya menabrak sesuatu, Ikram berpegangan ke bahu Kristof sambil menunduk dan memejamkan mata. "Kenapa?"
"Yang lain enggak ada," jawab Kristof.
Ruangan itu kosong. Kristof dapat merasakannya. Tak ada kehadiran manusia lain satu pun di sekitar mereka. Namun, Kristof merasakan sesuatu yang berbeda di lorong sebelah kanan. Bahkan, Ikram mengonfirmasi penemuan tersebut.
"Ada yang minta tolong," ujar Ikram.
Yang bisa Kristof dengar adalah ketukan-ketukan berulang. Ketukan itu terdiri dari tiga ketukan cepat, lalu tiga ketukan dengan jeda, lalu tiga ketukan cepat lagi. Kemudian, pola itu diulangi kembali.
"Itu kode morse untuk meminta tolong," bisik Ikram. "Dari arah kanan."
Ya, Kristof tahu arahnya dari sebelah sana. Kristof hanya tak mengetahui bahwa itu merupakan kode morse. Sudah sejak lama Kristof tak ikutan Pramuka. Mungkin kali terakhir saat ... SD? Mengingat morse menekankan kode pada suara, bukan visual, yang Kristof ingat dengan jelas saat Pramuka malah kode semafor.
Sambil menuntun Ikram di belakangnya seperti tunanetra, Kristof berjalan menghampiri lorong panjang dengan pintu-pintu lain. Di salah satu pintu, kode morse itu diketukkan lebih keras. Seseorang meminta tolong dari dalam.
"Dari sini," ujar Ikram mengafirmasi.
Kristof mengangguk dan membuka kenop pintu. Ruangan di dalamnya gelap, tetapi ada pencahayaan temaram yang sanggup menggambarkan visual seluruhnya. Ruangan itu seperti rubanah abad pertengahan di Eropa. Dengan lantai dari tanah, palang-palang kayu di sepanjang dinding, cambuk-cambuk dari bahan kulit domba, dan lilin-lilin yang berkobar menerangi ruangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Inteligensia
FantasiSetelah menginjak umur 25 tahun, Kristof baru menyadari dirinya punya kekuatan super. Satu dari kecerdasan majemuknya yang dominan menjadi sumber kekuatan barunya seperti sihir. Kekuatan ini, secara resmi membuat Kristof digolongkan sebagai seorang...