[19] El Gran 2.0

1.4K 140 89
                                    


Sebelum part ini dimulai, saya mau menyampaikan terima kasih kepada para pembaca yang sudah berkontribusi dalam pilihan Kristof part kemarin. Dimintanya bikin kata-kata untuk Kristof sampaikan, eh ini narasinya pun sekaligus diberikan. Kece badai, lah!

Sesuai janji saya, pemenangnya adalah yang komentarnya dikomentari oleh paling banyak pembaca. Jadi, bukan jumlah komen, ya. Melainkan jumlah pengomennya. (Ada ya kata "pengomen"? Pengomen tuh yang nyanyi di jalanan bukan?)

Maka dari itu, congratulations kepada little_zhan ! Saran kata-katanya digunakan Kristof di part ini, tentunya setelah saya sesuaikan dengan narasi. (Tanpa mengubah maksud perkataannya.) Dan seperti biasa, namamu akan terukir ke dalam cerita.

Nah, selamat membaca!

======================

Kristof meninggalkan kamar itu dengan jemari bergetar. Dia mengangkat tangan ketika Ikram mencoba menyentuhnya. "Aku mau sendiri," gumamnya. Kristof berjalan ke arah lain koridor. Bahu Kristof berguncang.

Dua menit lalu, Kristof sudah berusaha sebisa mungkin membujuk Aidan untuk bergabung. Namun apa yang dikatakan Aidan malah membuat Kristof tertekan. Kristof duduk di salah satu bangku panjang sambil menarik napas dalam-dalam. Kepalanya berputar ke kejadian lima menit lalu saat dia mencoba membujuk Aidan masuk ke dalam flock-nya.

"Aku paham," mulai Kristof. Dia melupakan kekakuannya mengatakan 'saya' kepada Aidan. Bagi Kristof, posisinya dengan Aidan saat ini setara. "Meski aku belum pernah ikut Turnamen, aku paham kenapa ini traumatis buat Abang."

Aidan mengangkat sebelah alisnya, mendengarkan dengan saksama.

"Bagi Abang, mungkin ini pengalaman yang enggak menyenangkan," lanjut Kristof. "Aku aja hampir mati kemarin. Aku punya sejuta alasan untuk menganggap ini hal traumatis seperti yang Abang alami. Dan ya, situasi sekarang justru menjadi alasan bagi setiap inteligensia untuk bersembunyi.

"Tapi aku punya perspektif lain tentang ini. Perspektif dari kacamata anak baru seperti aku, yang baru tahu dunia magical ini, baru tahu seluk beluk kecil tentang inteligensia dan sedang menyambut pengetahuan yang lebih besar. Yang membuatku ingin mengerti semua ini, karena aku percaya ... kita bisa bangun dunia yang lebih baik dengan kekuatan kita."

Aidan memotong kata-kata Kristof dengan senyum meremehkan. "Elo enggak tahu apa-apa soal teror yang sedang kita hadapi."

"Memang enggak tahu," balas Kristof mantap. "Dan aku akan cari tahu, lalu aku akan berkontribusi untuk melenyapkan terornya."

"Elo enggak tahu sebesar apa kekuatan yang mereka punya untuk menghancurkan elo dalam satu kedipan mata. Satu-satunya cara menyelamatkan diri adalah dengan sembunyi."

"Sampai kapan, Bang? Selamanya?" balas Kristof sambil menaikkan satu alisnya. Hati Kristof hancur karena dia harus berbicara seperti ini dengan pujaan hatinya. Tangan Kristof bergetar dan berkeringat dingin. "Dalam sikon kayak begini, apa Abang tetap merasa aman bersembunyi? Bahkan dengan kekuatan yang kuat sekalipun?"

Rahang Aidan mengeras.

"Justru karena kekuatanku lemah, aku enggak bersembunyi, Bang," lanjut Kristof. "Aku akan muncul dan menggalang kekuatan untuk menghadapi ini semua. Aku seperti kolom-kolom yang berdiri di atas fondasi, menyangga atap dan setiap balok lantai, supaya aku bisa support pelat lantai dan dinding membentuk satu bangunan utuh.

"Satu kolom yang bersembunyi enggak ngebikin rumahnya tahan badai. Enggak peduli penampang kolomnya besar dan berbahan titanium sekalipun. Tapi kolom-kolom yang berdiri bersamaan dan menyangga semua elemen rumah, akan berhasil melewati badai apa pun. Itu salah satu prinsip dasar arsitektur, dan Abang tahu betul soal itu."

InteligensiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang