Fania memarkirkan mobilnya rapi di parkiran rumah sakit jiwa Wiratmaja. Dia meregangkan ototnya terlebih dahulu dahulu setelah menyetir mobil Jakarta – Bogor sejak subuh tadi. Dia sangat cape, terlebih hari Senin adalah waktu padat-padatnya jalan.
Biasanya Fania memilih berangkat Minggu sore, tapi karena kemarin ia masih harus bolak-balik rumah sakit Jakarta padahal bukan jadwalnya kerja buat mengecek kondisi papanya jadi dia baru bisa on the way tadi setelah sholat subuh.
Ah, mengingat papanya membuat hati Fania diliputi rasa sedih dan kecewa. Sedih karena papanya sepertinya dalam keadaan bahaya dan kecewa karena hatinya belum bisa memaafkan sang papa. Entah kenapa egonya terlalu tinggi untuk memaafkan papanya itu.
Fania menghela napasnya. Lalu mengambil tasnya dan membuka pintu mobil.
Dengan langkah anggun yang tidak dibuat-buat, Fania berjalan gontai masuk kedalam rumah sakit yang menjadi tempatnya bekerja selama enam bulan ini selain bekerja di rumah sakit umum Jakarta.Sebenarnya jika Fania disuruh memilih ia akan memilih untuk bekerja dirumah sakit Jakarta saja daripada harus menyiksa tubuhnya dengan bolak-balik Jakarta – Bogor setiap minggunya. Hanya saja ada seseorang yang harus ia jaga disini, ada seseorang yang harus ia sembuhkan disini.
“Pagi Dokter Fani,”
“Pagi bu dokter,”
“Morning dokter cantik,”
Serangkaian sapaan yang Fania tanggapi hanya dengan senyum tipis miliknya. Walaupun seorang dokter, perempuan yang akan menginjak usia dua puluh tiga tahun itu bukanlah sosok yang selalu peduli dengan sekitarnya, bahkan ia bisa dibilang apatis. Dia hanya akan berbicara seperlunya, mendengarkan apa yang ia anggap penting dan melakukan kewajibannya.
Fania duduk dikursi ruangannya sembari menunggu panggilan karena Fania bukanlah dokter spesialis kejiawaan, dia hanya satu-satunya dokter umum yang akan membantu dokter spesialis dalam menangani pasien dirumah sakit ini. Alasan karena ada seseorang yang ia harus dijaga disini bukanlah alasan satu-satunya, tapi sosoknya yang entah kenapa bisa memahami mood para pasien, membuatnya di apresiasi dan mungkin juga karena latar belakang dia yang mengambil double degree psikologi.
Tok tok tok..
Fania yang tengah berkutat memahami artikel tentang mental illness pun berhenti dan menyuruh si pengetuk masuk.
“Dokter Fania, Nyonya Sasmita memberontak. Dia bahkan hampir memukul suster yang memberinya sarapan dan terus-terus berteriak memanggil nama anaknya. Dokter Arsyandra sedang di Surabaya,” ujar sang suster. Dokter Arsyandra merupakan dokter spesialis kejiwaan yang sangat kompeten disini. Dia adalah adik dari dokter Helwa, dan pasien yang disebutkan oleh suster tersebut merupakan pasien yang ditangani khusus oleh dokter Arsyandra bersama Fania.
Fania langsung mengangguk dan berdiri. Dia akan mengecek pasien yang dimaksud oleh suster tersebut.
“Apa kemarin anaknya tidak kesini hingga ia memberontak?” tanya Fania ditengah perjalanan tergesanya menuju kamar pasien—pada sang suster.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZAFRANIA (Revisi)
Romance𝑺𝒚𝒓𝒊𝒏𝒈𝒆𝒔 𝒂𝒏𝒅 𝒕𝒓𝒊𝒂𝒍 𝒉𝒂𝒎𝒎𝒆𝒓𝒔 Zafran Ragaska Rajash, pengacara muda yang memiliki sejuta pesona. Tidak hanya menjadi seorang pengacara, sebagai CEO Rajash Law Firm membuat ia lebih diidolakan daripada ketiga saudara laki-lakinya...