BAB 4

101 12 28
                                    

Aku nekat mencintaimu meski tahu kita tidak akan bisa menjadi sin 90°.

-secret admirer

***

"Bakso satu, es jeruk satu, sama krupuk rambak satu bungkus. Jadi berapa, Pak?"

Pria berkumis dengan handuk kecil yang menyampir di bahu kirinya itu menerawang ke lain arah. Mencoba menghitung total harga makanan yang telah dipesan gadis remaja di depannya.

"Dua belas ribu, Mbak."

Naya mengeluarkan satu lembar uang berwarna hijau dari saku rok sekolahnya. Ia berikan uang itu kepada si pedagang dan menerima kembaliannya.

Bola matanya tak sengaja menangkap box besar berisi makanan dingin dengan beragam rasa manis yang seketika membuat pandangannya berbinar. Segera ia menghampiri box itu dan memilih makanan dingin dengan cup sebagai wadahnya.

"Pak, tambah es krimnya satu, ya. Ini uangnya," Ujar Naya, kemudian mengulurkan selembar uang lima ribuan.

"Siap, Mbak," si pedagang menerima uangnya sembari meneliti cup es krim di tangan Naya, "tumben nggak beli yang warna pink?" ceplosnya kemudian. Merasa ada yang aneh dengan pilihan Naya.

Gadis itu tertawa kecil, "Maksud Bapak setroberi?"

Pedagang itu mengangguk.

Naya menggeleng, "Sekali-kali nyoba rasa cokelat," jawabnya diiringi senyuman lebar.

Kriingg ... Kriingg ...

PUK!

Naya menepuk dahinya agak keras. Ia baru ingat jika tasnya belum diambil kembali. Karena terlambat, ia terpaksa memanjat dinding belakang sekolah dan menyembunyikan tasnya di semak-semak pagi tadi. Dan masuk kelas dengan alibi bahwa dirinya baru saja dari toilet.

"Pak pergi dulu, ya. Terimakasih!" Pamit Naya dan melenggang pergi dengan terburu-buru.

***

"Sshh ..."

Kepala Abi menoleh begitu mendengar rintihan yang terdengar sangat jelas di telinganya. Itu suara Naya. Sedari tadi, dirinya sibuk dengan tangan kirinya yang ia sembunyikan di bawah meja.

"Kenapa?" tanya Abi selepas melihat Naya menaruh tisu dengan bercak merah ke atas meja. Ia menduga, itu darah.

"Hm?" Naya menoleh dengan kedua alis terangkat, mengisyaratkan Abi untuk mengulang ucapannya.

"Lo kenapa?" ulang Abi.

Naya menggeleng dan tersenyum, "Nggak pa-pa!" Jawabnya.

"Bohong."

"Hah?"

"Kenapa?" tanya Abi sekali lagi.

"Nggak pa-pa, Den. Cuma kena beling doang tadi."

"Mana? Udah diobatin?" tanya Abi, nada bicaranya sedikit melembut.

Yang ditanya justru menggigit bibir bawahnya, "Belum sempet."

Abi menarik naik satu alisnya, "Coba lihat."

Gadis bermata sipit itu mengulurkan tangan kirinya. Hal pertama yang didapati Abi adalah sebuah telapak tangan dengan beberapa sayatan terbuka yang tak kunjung berhenti memuntahkan darah.

MathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang