BAB 17

28 4 3
                                    

Masa terpuruk itu bukan aib, tapi pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

-Kiara Resky

***

Laki-laki beralis tebal itu mendaratkan kepalanya di sebuah bantal, mengatur posisi hingga senyaman mungkin berbaring di atas kursi besi bercatkan putih tulang.

Perlahan kelopak matanya tertutup, menikmati semilir angin yang berhasil mengibas rambutnya ke belakang. Waktu telah sampai di pertengahan hari, dan cuaca semakin terik. Syukurlah ada pohon beringin, jadi Abi tidak perlu repot mencari keteduhan.

Menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Kejadian tadi cukup membuat napas Abi tak selega biasanya dan itu membuat dirinya sesak.

Sekelebat kejadian masa lalu melintas di pikiran Abi. Terlihat jelas bagaimana dirinya yang dulu dan perlakuan trio bengis itu terhadapnya. Abi memejamkan mata lebih dalam, sayup-sayup kepalanya bergerak resah. Sejujurnya, Abi masih trauma dengan peristiwa itu.

"Jangan kaya cewek, senggol dikit, ngurung diri. Ayo keluar, latihan bela diri bareng gue."

"Udah gue bilang, jangan mau ditindas. Sekarang, kalau lo lari, kapan lo berani?"

"Ketika lo berubah, dunia lo juga akan berubah."

"Keberhasilan bukan untuk orang pesimis dan gampang nyerah."

"Perasaan berharap terus, kapan usahanya?"

"Setiap orang punya masa terpuruknya masing-masing. Dan masa terpuruk itu bukan aib, tapi pelajaran untuk jadi pribadi yang lebih baik."

"Untuk keturunannya Arjuna, Abimanyu itu berani. Untuk keturunannya Ayah, Abimanyu harus lebih berani."

Suara manis dan menenangkan itu terngiang di kepala Abi. Senyumnya merekah, mengingat bagaimana gadis itu membangunkan Abi dari keterpurukan.

Gadis itu ... si pemantik semangat yang selalu mengucap beribu motivasi dan dukungan untuk Abi. Senyum laki-laki itu semakin mengembang. Ah, dia sangat bersyukur karena masih memilikinya hingga saat ini.

Thank you, Kiara.

"Raden?"

Panggilan itu hampir membuat jantung Abi meloncat dari tempatnya. Jika saja ia tidak kenal dengan orang itu, sudah pasti Abi akan memusuhinya karena telah mengejutkan sekaligus menganggu ketenangannya.

Masih setia dengan posisi yang sama dan mata terpejam, Abi menyahut, "Kenapa, Nay?"

Tiga-empat detik, tidak terdengar sahutan apa pun. Karena penasaran, Abi sedikit membuat celah di matanya, mengintip Naya yang ternyata tengah mengamati wajah laki-laki itu.

"Kok tahu kalau ini aku?"

Abi menghela napas perlahan. Suara dan kebiasaan Naya memanggilnya Raden, adalah sesuatu yang mudah dikenali oleh Abi.

"Cuma nebak." Abi membuka mata, lalu mengambil posisi duduk dan menaruh bantal di pangkuannya. "Duduk," ujar Abi.

Gadis itu pun mendudukkan diri di sebelah Abi. Manik matanya terfokus pada objek di pangkuan laki-laki itu. "Kamu ... ke sekolah bawa bantal?"

Lagi-lagi Abi menghela napas. Cowok itu menggeleng samar. "Enggak, ini bantal UKS."

Percayalah, sebenarnya Abi tidak suka obrolan bertele-tele semacam ini. Terlebih lagi, suasana hatinya sedang mendambakkan ketenangan. Namun, untuk menegur Naya, Abi tidak sampai hati melakukannya.

MathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang