BAB 14

26 7 3
                                    

Saat kamu menjatuhkan orang lain, bersiap-siaplah untuk lebih jatuh dari orang itu.

-Raden Abimanyu

***

Jam menunjukkan pukul 15.30, itu berarti sudah 15 menit lamanya Abi, Aska, Adam, Hafis, dan Restu menunggu Arka menyelesaikan piketnya.

"Lama banget sih lo, Ar. Barang piket aja sampe setahun," dengus Aska sembari membanting dagunya diantara kedua tangan yang menengadah.

Di dalam kelas itu, kelimanya terpencar. Aska duduk bersila di bawah papan tulis, Restu duduk di ujung meja dengan kaki yang menggantung, Hafis berbaring santai di belakang kelas, Abi duduk berselonjor di antara bangkunya dan Naya, serta Adam yang bersedekap dada di kursi guru.

"Huh! Tinggal makanan udah habis aja bunyi lo!" cerca Arka.

"Biarin!" tukas Aska sembari mengerucutkan bibirnya.

"Bantuin Arka biar cepet selesai," titah Adam sembari ancang-ancang berdiri.

"Nggak, nggak usah. Tadi kan gue udah bilang, kalian diem-diem di situ aja, gue bisa sendiri."

Kondisi kembali hening. Adam menyandarkan kembali punggungnya seraya menengadah. Sangat bosan menunggu Arka bersih-bersih. Jika sudah memegang sapu, kemoceng, dan semacamnya, jiwa Arka seketika berubah seperti gadis perawan. Membersihkan ruangan dan tidak memberikan celah sedikit pun bagi sebutir debu untuk menempel.

"Ngomong-ngomong guys, kalian tahu Hendrik?" Sekarang Arka sibuk memunguti sampah di loker meja. "Anak Mipa 5," tambahnya.

"Hendrik?" ulang Restu. "Yang suka pake celana cingkrang itu?"

"Iyap."

"Yang rambutnya belah tengah plus licin bukan sih?" imbuh Hafis.

"That's right!"

"Gue nggak kenal. Kenapa dia?" tanya Adam enggan berbasa-basi.

"Dikeroyok njir! Sampai dibawa ke klinik dia," ucap Arka heboh. Jika sudah seperti ini, dirinya persis seperti ibu-ibu komplek yang sedang bergosip saat beli sayuran.

"Dikeroyok sama siapa?" tanya Adam.

"Biasa, Mahen dkk."

Di belakang sana, dengan mata terpejam Hafis menyeringai. "Ketebak," gumamnya.

"Kenapa gitu dikeroyok?" giliran Aska yang menyahut.

"Aska ... Aska .... Kaya lo nggak kenal Mahen aja. Nindas orang udah jadi kebiasaannya kali," celetuk Hafis.

"Heran gue. Biar jadi ketos tetep aja kelakuannya kaya setan," ujar Restu sarkastik. Membayangkan wajah Mahen membuat dirinya naik pitam.

"Parahnya lagi, guru BK nyuruh Hendrik buat silent," kata Arka berapi-api.

"Silent ... gimana?"

"Nggak ngadu sama orang tua atau lapor sana sini."

"ANJ—" umpat Restu tertahan. "Terus dihukum nggak si Mahen?"

"Kabar buruknya, enggak."

Hafis tertawa remeh. "Ga danta banget, njing. Jabatannya ketos nindas warganya sendiri. Nggak dikasih sangsi lagi." Hafis mengubah posisinya menjadi miring, menghadap teman-temannya. Tangan kirinya bergerak menyangga kepala. "Bang Adam! Om Andre nemu guru BK di mana, sih? Guru BK nggak becus gitu direkrut," lontarnya menggebu-gebu.

MathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang