Masalahmu adalah kelemahanmu, orang lain tidak perlu tahu.
-Sanaya Riskan
***
"Udah?" Bersamaan dengan datangnya suara dari arah belakang, Naya menutup buku tulisnya pertanda tugas untuk menyalin telah selesai. Gadis itu mendongak, menemui laki-laki jangkung yang baru saja mengganti seragamnya dengan bawahan sarung dan atasan kaos hitam polos.
"Udah, baru aja," balas Naya, tidak melepas pandangannya dari Abi.
"Bunda ngajak makan," cetus laki-laki itu, menduduki salah satu kursi santai yang letaknya tidak jauh dari tempat Naya.
"Oh, Ibu kamu udah pulang?" cetus Naya sembari menyimpan buku-bukunya ke dalam ransel.
"Baru aja."
Naya mengangguk, lalu berkata, "Aku masih bingung sama soal-soalnya. Tak coba memahami—seperti yang kamu bilang tadi—, tapi nggak bisa-bisa. Kamu punya waktunya kapan? Mau minta tolong ajarin."
"Belum tahu. Ayo buruan, udah ditunggu," cakap Abi kemudian melenggang terlebih dahulu, tidak sabar mengisi perutnya yang kosong.
Dengan cekatan, Naya bangkit dari posisinya lalu menyusul pemuda berpostur tegap itu. Tampak-tampaknya Abi berjalan dengan tenang, tapi seperti biasa, Naya perlu berusaha keras untuk menyamakan langkahnya dengan laki-laki itu.
Kaki Abi membawanya dan gadis itu ke ruangan minimalis berplafon tinggi. Ruangan yang dilengkapi dengan dapur dan meja makan itu masih satu lantai dengan ruang utama, terdapat sekat kayu yang membatasi keduanya.
"Hai, sayang!" wanita berkerudung motif bunga menyapa, dengan dua piring lauk yang dipegangnya. "Siapa, nih? Cantik banget," sanjung Falida —Bunda Abi—, menghampiri Naya dan Abi di tempatnya.
Naya mengulas senyum, manis sekali. "Selamat sore, Ibu." Gadis itu mengulurkan tangannya, lalu menyalimi Falida. "Saya Naya, teman satu kelasnya Raden," imbuhnya.
Falida memberengut. "Formal banget? Santai aja, Abi juga udah cerita sama Tante, kok." Wanita itu menepuk-tepuk lengan Naya. "Sudah dari tadi atau baru saja? Maaf, ya, Tante pergi belanja sama Ayahnya Abi."
"Nggak pa-pa, Bu. Naya yang minta maaf karena merepotkan," ujar Naya, kaku.
"Ya nggaklah, Sayang. Eh, panggilnya jangan Ibu, dong! Tante jadi ngerasa tua banget ini," protes Falida, berkelakar. "Panggil Tante aja, ya?"
Naya mengangguk. "Iya, Bu— eh Tante."
Falida menggeleng samar dengan seuntai senyum yang tak pernah lepas. Detik berikutnya, atensi wanita itu terarah ke Abi, yang tak kunjung beranjak dari samping Naya. "Kamu kenapa bengong di situ? Udah ayo, kita makan bersama."
Selepas Falida berlalu untuk kembali pada urusan kecilnya di dapur, Abi merentangkan satu tangannya mengarah ke meja makan, mempersilahkan Naya untuk duduk lebih dulu.
"Makasih," cicit Naya lucu.
"Sama-sama," balas Abi dengan meniru intonasi lucu yang Naya gunakan.
Sebelum bergabung di meja makan, Naya terlebih dulu menyalami Jaya—Ayah Abi— di kursi makan yang telah menjadi singgasananya di rumah itu. Mereka berbincang sebentar, sebelum akhirnya Falida kembali datang bersama teko kaca berisi jus mangga di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Math
Teen FictionNiat awal membuat cemburu Arka berakhir menjadi rasa sayang terhadap Naya. Raden Abimanyu, cowok jangkung yang terkenal akan kemampuannya berpikir logis dan matematis. Suatu hari ia mengetahui jika Arka menyukai seorang gadis secara diam-diam. Persi...