BAB 20

35 4 5
                                    

Ternyata perasaan gue setransparan itu.

-Hafis Arbamsyah

***

Menyugar rambut tebalnya ke belakang, laki-laki itu tampak percaya diri dengan penampilannya yang amat berantakan. Keadaan sekolah semakin sepi, pun dengan kantin yang didatangi Hafis saat ini. Sekolah memang telah dibubarkan, para pedagang kantin pun telah menutup tempat masing-masing.

Sembari bersiul asal, Hafis memasuki kantin dengan pandangan yang menjelajah. Gerakan matanya terhenti pada satu stand dagang yang berada di barisan tengah. Stand itu masih buka, lengkap dengan pedagangnya.

Lantas dengan gaya berjalan dan mimik songong khasnya, Hafis menghampiri pedagang itu layaknya seorang pemalak. "Ngapain masih di sini?" tanya laki-laki itu.

Si pedagang terkesiap. Kemudian, karena ekspresi datar dan tatapan elang yang dilemparkan Hafis, pedagang itu menunduk takut.

"Pfft ...." melihat respon si pedagang, sontak Hafis menahan tawa. Seseram itukah dirinya? "Bercanda, Mbak," ucapnya.

Mbak Mie -julukan pedagang itu- mengangkat kepalanya, memandang Hafis nyalang. "Minta disiram kuah bakso kamu, ya!" marahnya.

"Hehe ... Peace!" ringis Hafis. "Tumben masih buka warungnya, Mbak?"

"Tadinya sudah mau tutup, tapi tiba-tiba ada pembeli. Ya sudah, tutupnya nunggu pembelinya selesai makan," jelas Mbak Mie. "Kamu juga mau pesan?" tanya orang tua tunggal tersebut, sembari melanjutkan aktivitas beres-beres mangkuk yang sempat tertunda.

Alih-alih menjawab, Hafis justru membalas Mbak Mie dengan tanya. "Mana pembelinya, Mbak?"

"Tuh!" Dengan bibir yang mengerucut, Mbak Mie menunjuk sisi pojok kantin dengan dagunya. "Cewek. Sikat, dah!" kelakar Mbak Mie.

Hafis tertawa ringan. "Sa ae, Janda," balasnya yang memancing mata Mbak Mie melebar.

"Kurang ajar!" seru Mbak Mie seraya berkacak pinggang. "Sini, ke sini! Minta direbus kamu, ya!" murka wanita pencinta kulot itu.

"Ampuuunn Mbaakk ...!"

Jadilah adegan kejar-kejaran antara Hafis dengan Mbak Mie. Wanita itu tak hentinya mengomel dan memukuli Hafis dengan serbet kusut di tangannya. Sementara Hafis terbahak keras meladeni berbagai ocehan yang terlontar dari mulut Mbak Mie.

"Sudah, ah! Capek aku!" seru Mbak Mie kemudian. Ia berhenti jauh di belakang Hafis sembari memegangi lutut dengan napas yang tersengal-sengal.

Hafis memelankan gerakan kakinya. Menatap ke belakang dengan senyum menyebalkan. "Sudah Mbak, mending serbetnya buat ngelap meja aja, sambil ngucap doa. Siapa tahu besok pagi jualannya laris manis!" beo laki-laki itu.

Mbak Mie mendengus. "Awas kamu, ya! Tak ingat-ingat wajahmu!" serunya dengan telunjuk yang mengarah ke laki-laki itu.

"Sudah pasti ingatlah, Mbak. Wajah ganteng gini mana ada, sih, yang ngelupain?" cetus Hafis, membuat Mbak Mie berdecih seketika.

Dengan tawa yang kian mereda, Hafis memutar tubuhnya. Pertama kali yang dilihat laki-laki itu adalah wajah gadis yang amat familiar. Mereka bersitatap, lalu dengan perlahan senyuman mengembang di wajah keduanya.

"Elena? Whats up?!" sapa Hafis, kemudian mendatangi Elena di mejanya.

"Hai!" sapa gadis itu seraya menerima ajakan high five dari Hafis. "Long time no see," ujar Elena kala Hafis mengambil posisi tepat di hadapannya.

MathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang