ali.e.na.si /aliénasi/
n keadaan merasa terasing (terisolasi)
Ramai. Satu kata yang mendeskripsikan bagaimana suasana kota Jogja malam ini. Malam itu diiringi dengan alunan lagu yang termuara dari kotak musik di penghujung ruangan, hadiah dari seseorang untuk ulang tahunnya.
Besok minggu, hanya itu yang ada dalam angan. Benar saja kalau hari sabtunya membisu. Berjam-jam dihabiskan, menatap gawai sembari diselingi usaha untuk pejamkan mata sejenak. Nihil, tak ada hasil. Tabiat buruk, memang kebiasaannya begadang harus ditumpas habis. Tentu, berdiam di sebuah ruang kosong dengan sendiri merupakan ide terburuk, mengenang apa yang telah terjadi di masa silam. Namun, apa boleh buat? Ia tak punya agenda, maupun persona untuk bercakap.
Sebuah notifikasi memasuki ponselnya yang berwarna putih, tergeletak di samping kepala. Dari siapa, merupakan tanya pertama yang menaungi kepala. Jemarinya meraih benda itu, menyimak isi dari pesan.
Ari: gue di Jogja, temenin makan dong? Sibuk, nggak?
Ann langsung bergegas tanpa memberi balasan kala dapati pesan dari Riqa. Terlebih Riqa sudah mengirimnya lokasi yang harus dituju. Akhirnya ia beranjak dari kasurnya. Menanggalkan piyama kelabunya, kedua tangan menjelajahi lemari kayunya. Dirampasnya sepasang busana sebelum pintu kamarnya terbuka dengan teramat pelan. Ia bergegas persiapkan diri. Di depan meja riasnya, Ann sibuk beri sedikit rias pada wajah agar tidak terlihat pucat. Kemudian mengganti pakaian tidur yang dikenakan dengan pakaian yang santai namun rapi. Tak lupa membawa masker di tasnya.
Namun, tiba-tiba saja si pemilik rumah sebelah menawarkan hangat dan manisnya cokelat panas lewat jendela yang memang berhadapan dengan jendela kamarnya. Si gadis yang kerap dipanggil Naura oleh ayahnya itu pun tidak bisa tolak.
"Nauraa." Panggilnya.
Wanita paruh baya tersebut tersenyum kecil sambil menyelinap ke kamar Ann sebelum melontarkan sebuah pernyataan, "Ntar ayah pulang, hati-hati."
"Tahu kok, aku mau pergi, bilangin kalau aku tidur. Itu kalau dicari, ya," jawabnya yang sedang sibuk memakai baju, sedikit tergesa-gesa.
"Kalau nggak dicari," ujarnya sembari berjalan ke meja rias di sudut ruangan.
"Itu lebih bagus."
"Nggak bakalan lama kok. Janji deh," tangannya bergerak menyisir rambut dan mengikatnya. Sedangkan tangan yang satunya digunakan untuk meminum cokelat panas.
Perihal kedua orang tuanya, dapat dipastikan keduanya akan sibuk menonton sinetron kesukaan. Jelas tak akan dapatkan izin kalau ia keluar malam. Mungkin, padahal hanya pergi dengan Riqa. Suuzan's first.
Ya, Awan baru saja tiba sore tadi setelah ditelepon untuk menemui orang tuanya. Hal itu jua dijadikannya kesempatan untuk bertemu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Ann? Sosok puan yang telah ia kenal beberapa tahun ke belakang sebab orang tua keduanya pun kerabat kerja di kota istimewa itu.
⠀⠀
Kali ini tak akan berani menampakkan wajahnya di depan Ann, sendirian. Tentu ia mengajak sahabat karib Ann, Riqa. Awan sibuk mengemudi sementara Riqa bergelut dengan ponsel, tengah ketikkan sesuatu di ruang obrolan dirinya dan Ann.Ann sudah menuju lokasi yang memang masih dekat dengan komplek rumahnya, tapi tak melihat tanda-tanda kehidupan di sana. Sepi. Ditiliknya sejenak pesan dari Riqa lalu membalasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAKAR
RandomRiuh tawa rengkuh sunyi, demi tutupi luka abadi. Dungu senyumnya setia terpatri pada parasnya meski lebam warnai luka. Jatuh luruh entah ke berapa. Dipermainkan lagi oleh semesta. Menulis sudah seperti obat untuknya. Inginnya teramat sederhana, hin...