re.a.li.sa.si /rèalisasi/n proses menjadikan nyata; perwujudan
Sabtu adalah hari libur untuk Ann. Tak ke mana-mana, ia menonton televisi yang tengah menayangkan berita luar negeri.
"Bayi panda lahir aja sampai masuk berita. Bayi kucing nggak sekalian apa?" Mendengus pelan, kuasanya kini sibuk mengganti channel, mencari tayangan yang sedikit menghibur, tayangan televisi lokal isinya kebanyakan gosip.
Nahas, tombol remotnya menekan nomor yang sedang menayangkan berita gosip, "apa-apaan ini, artis makan pakai piring segala diberitain. Emang harusnya makan pakai apa? Pakai hati, iya??"
Angin sore berhembus pelan dari jendela menerpa tubuh, surai panjang yang dibiarkan tak terikat sesekali ikut terhembus oleh angin. Di rumah memang akan lebih leluasa tak memakai hijab. Ann menghela napas. Sudah berapa lama ia berada di sini? Satu jam? Dua jam? Hanya untuk menonton benda berbentuk balok saja?
️️
️️️️Netranya sesekali melirik ke arah di mana banyak makhluk yang memperhatikan. Dirinya hanya diam saja, tidak mengganggu, kan? Makhluk halus kali, sebab di rumah hanya ada Ann seorang diri.Ann tersentak tatkala ponselnya bergetar hebat. Sial, dia lupa mengubah setting ponselnya ke mode senyap. Tanpa melihat nama si penelepon, Ann langsung mengangkatnya.
"P," sahutnya ketika sudah mengetahui siapa yang menelepon.
"Anjir P."
"Kamu di mana? Ngapain telepon? Nggak usah sok akrab gini deh," ia berdecak pelan. Seharusnya hari ini adalah hari kebalikan saja, agar hari ini ia tak perlu bekerja. Malas sekali. Ralat saja, hari tak mengangkat telepon dari siapa pun. Termasuk adiknya.
"Kepo amat. Kasih aku uang jajan!" Sebenarnya, ia sangat benci ketika harus bertingkah sok sengak dan galak kepada sang Kakak. Tidak tega juga tidak mau.
"Ogah, pulang aja cepetan. Melayap mulu kerjaanmu."
"Nggak mau. Lo siapa, sih? Ngatur amat."
"Astaghfirullaah, belum pernah diupilin sama guru matematika ni nggak ada sopan santunnys."
"Oh, Kakak, ya? Yang baik jadi Kakak, jangan lupa transfer, atau aku bunuh diri," ketika hendak mematikan sambungan telepon, Ann kembali berteriak yang membuat pergerakan sang adik terhenti.
"JANGAN MACAM-MACAM, DEK!" Ann mendengus lelah.
Tuuutt..
Sambungan telepon pun ditutup sepihak.
️️
️️️️Tidak, Naufal tidak akan melakukan hal negatif apa pun. Termasuk hal yang baru saja ia sebutkan. Hanya gertakan kecil untuk sang Kakak, mungkin."Bodo amat, lagian kenapa nggak minta sama Ayah. Pokoknya aku lagi pengin sendiri termasuk isi dompet aku." Ocehnya. Memang uang cash di dompetnya hanya tinggal satu lembar berwarna merah. Jangan tanyakan saldo rekening!
Ia pun mematikan televisi yang sedari tadi menonton dirinya, lalu tancap gas untuk pergi ke tempat yang bernama kamar. Ada kursi yang sudah cukup lapuk untuk sekedar menyendiri duduk di atasnya. Tempat di mana sang Ayah selalu membawa Ann duduk untuk menenangkan diri saat ia masih kecil. Sekarang yang ia pikirkan hanya pergi jauh dari sana.
Tak terasa waktu baru saja menunjukkan pukul delapan pagi, padahal terasa sangat lama untuk Ann. Mungkin memang tidak cukup jika menenangkan diri hanya sehari saja. Di rumah, tak ada yang menanyakan tentang keadaannya. Entah lah, mungkin kalimat seperti itu hanya membuat persepsi orang bahwa Ann adalah penggila atensi. Masa bodoh dengan orang-orang, masa bodoh dengan dirinya sendiri. Batuknya saja masih tak kunjung sembuh. Entah batuk biasa atau karena apa, biasanya tidak sampai selama itu. Harus bercerita ke siapa? Jika hanya membuat khawatir, tentu ia akan semakin membebani pikiran orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAKAR
RandomRiuh tawa rengkuh sunyi, demi tutupi luka abadi. Dungu senyumnya setia terpatri pada parasnya meski lebam warnai luka. Jatuh luruh entah ke berapa. Dipermainkan lagi oleh semesta. Menulis sudah seperti obat untuknya. Inginnya teramat sederhana, hin...