ad.he.si /adhési/
n kesepakatan, sikap, atau rasa sesuai
PT Maju Mundur, 19 Februari 2021.
Telah lewatkan banyak agenda hari ini, tiba lah ia pada waktu paling bahagia; waktu makan siang. Walaupun kali ini tak sebahagia biasanya, sebab kalahnya taruhan, berakhir ia harus belikan makan siang untuk beberapa karyawan.Sebetulnya, bohong kalau bahagianya berkurang hanya sebab kalah taruhan. Satu pikiran yang berakhir melekat di kepala sejak meninggalkan ruangan yang berada di samping ruangan direksi. Setengah menyesal, tadi coba tilik isi ruangan tersebut dan berakhir dapati Gilang yang masih saja berkutat dengan komputer lipatnya dengan iras semrawut.
"Sudah makan belum, ya?" Kalimat tanya yang hanya terlontar dalam sanubari, tidak juga dapati jawaban pasti. Buat akhirnya raga berdiri, berjalan mendekati etalase tempat pemilik rumah makanan cepat saji dan sebut keinginan diri.
"Bu, paket nasi ayamnya tambah satu, ya?"
"Tumben, biasanya cuma pesan lima. Kok sekarang jadi enam?" Tengah menyiapkan paket nasi ayam, Ibu pemilik rumah makan langganan itu sempatkan beri toleh dan tanya.
Bergeming, memang pertanyaan yang terlontar tergolong sederhana, tapi bagi Aulia, gugusan kata itu sekaligus mempertanyaan apa yang tengah diperbuatnya. Menghawatirkan perkara terlewatnya makan siang juniornya itu. Serius, apakah itu perlu?
"Ada karyawan baru, Bu," kebohongan nomor satu.
Membayar, membawa, dan menyalurkan kotak makan siang, bukanlah perkara sulit. Hal selanjutnya lah yang menjadi masalah. Aulia dengan kotak makan siang dalam rengkuhan, berakhir jadi patung di hadapan pintu jati ruang kerjanya. Nalarnya belum juga selesai menimang, apakah yang dilaku akan hadirkan sesal di lain waktu.
"Ada perlu dengan Gilang? Ayo ke depan, yang lain udah nunggu di sana."
Sebuah lontaran pertanyaan berhasil membuat ia terkejut, hampir jatuhkan kotak makan siang kalau tangannya tak cepat menyambut.
"Iya, Pak, itu ... mau minta tanda tangan."
"Pakai kotak makan siang?"
Kedua manik Aulia pun mengerjap, bersua pandang dengan tatapan heran dari si lawan bicara.
"Itu, berkasnya sudah di dalam, tinggal saya ambil," kebohongan nomor dua.
"Ya sudah, jangan terlalu lama, sekalian diajak makan. Habis itu kita mau rapat."
Dengan tuturan koleganya barusan, ia semakin yakin kalau makan siang akan dilewatkan oleh Gilang. Dengan mengesampingkan segala kemungkinan yang mungkin hanya akan terjadi dalam bayang, kuasanya terangkat, mengetuk pintu di hadapan beberapa kali sebelum jemala miliknya ia sembulkan ke dalam bilik ruangan. Posisi dan raut si objek khawatirnya belum banyak berubah dari yang terakhir ia lihat. Masih berkutat depan komputer dengan pikiran penuhi kepala.
Semakin yakin keputusannya adalah yang tepat, langkah sepenuhnya dibuat memasuki ruangan.
"Permisi, Gilang, aku beli paket nasi ayam lebih. Mau, nggak?" Kebohongan nomor tiga dan yang terakhir untuk hari ini. Belum tau untuk esok, mungkin akan ada kebohongan nomor empat, lima, enam, jika perkara makan siang saja kembali ganggu pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAKAR
RandomRiuh tawa rengkuh sunyi, demi tutupi luka abadi. Dungu senyumnya setia terpatri pada parasnya meski lebam warnai luka. Jatuh luruh entah ke berapa. Dipermainkan lagi oleh semesta. Menulis sudah seperti obat untuknya. Inginnya teramat sederhana, hin...