opo.si.si
n pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti
Banyak hal yang memang tidak bisa diceritakan. Masih berhubungan dengan mereka dan segala macam perbedaan yang ada, namun tetap bergeming bibir perempuan kelahiran kota Jogja itu. Tak mau utarakan, karena memang porsinya sudah begitu.
Ann teramat paham, kalau suatu hari nanti akan ditemukan satu titik di mana mereka terpaksa untuk dihadapkan pada kenyataan yang ada. Menatap satu sama lain dengan luka, menyisihkan segala macam rasa demi keadaan yang memang mengundang air mata.
Namun, Ann tidak menyangka kalau titik yang ia sebutkan di atas tadi akan terjadi hari ini. Jadwal pertemuan pertama mereka setelah meresmikan hubungan keduanya. Jemari Ann ketikkan balasan pesan untuk Awan, kemudian menunggu presensinya di halaman rumah. Awan yang akan hadir dengan sepeda motornya, dengan senyum semanis gula lantas berikan Ann satu kesempatan lagi untuk bersua.
"Aku sayang Kak Awan."
"Teramat.."
Kalimat tadi dilantunkan oleh Ann dalam keheningan, berusaha mengusir segala macam prasangka buruk. Semua pemikiran yang membuat Ann pada akhirnya terpuruk dan dimakan oleh luka.
Awan yang dulu, tak lain ialah Awan yang naif, yang abai akan peringatan-peringatan mengenai hubungan mereka yang mungkin berakhir bahagianya nyaris lumat. Ia abai akan itu semua. Terbutakan oleh bahagia. Melalaikan lara yang mengintai.
Degup jantung kepunyaan Ann entah kenapa berdetak kelewat cepat. Bukan, ini bukan euforia atau semacamnya. Layaknya apa yang akan orang awam katakan apabila hendak bertemu dengan pujaan hati. Milik Ann kali ini rasanya seperti dibubuhi jutaan duri.
Ada sesuatu yang tidak bisa dikatakan oleh rangkap bilabial ketika tubuhnya mulai beranjak hampiri pemuda yang telah tiba di kediamannya. Ann menghela napas, berat sekali. Rasanya seperti ada pasak fana yang tak kasat mata, terus menghujamnya kejam. Ann tidak paham ada apa di dalam sana yang tiada henti menusuk relungnya. Ketika satu senyumannya layangkan menuju presensi Awan yang sempurna kini sudah berada di hadapan.
"Halo, kakak pacar."
"Ngebut tadi?"
"Enggak, kok, Ann. Pelan aja tadi," kenyataannya hampir mustahil jika ia tak berpacu dengan angin apabila berkendara sendiri.
Sudut bibir kembarnya mengembang hampir serta-merta ketika bersua dengan dara nan dipuja. Pesonanya masih menguar tiada aduan, masih sama seperti detik ketika Awan jatuh cinta dengannya kali pertama.
Hangat pelan-pelan rayapi rongga dada, esemnya terus merangkak naik. Betapa bahagia, ia bisa sambangi gadisnya. Kekeh renyah lolos begitu saja tatkala mendengar sang kekasih tuai cakap.
"Mau masuk dulu, nggak? Ketemu Ibu? Tapi masih nunggu, soalnya lagi pergi. Di rumah lagi nggak ada orang. Sekalian istirahat dulu, aku buatin minum."
"Masa cuma berduaan aja di rumah? Ntar aja habis pergi aku mampir ke rumah, biar ketemu yang lain juga." Yeuu bego, ngajak pergi berdua sama Ann dikira boleh? Jangan ditiru teman-teman.
Kata demi kata dilantunkan oleh Ann dengan topeng apik pada wajahnya. Lantas, begitu ia melangkahkan kaki menuju sepeda motor, Ann masih dapat dengan jelas merasakan ada yang aneh di sini.
Dalam satu tarikan napas yang mengandung kerisauan yang masih sama, Ann mulai menaiki motor Awan dengan bertumpu telapak tangannya pada bahu kokoh milik sang kekasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAKAR
RandomRiuh tawa rengkuh sunyi, demi tutupi luka abadi. Dungu senyumnya setia terpatri pada parasnya meski lebam warnai luka. Jatuh luruh entah ke berapa. Dipermainkan lagi oleh semesta. Menulis sudah seperti obat untuknya. Inginnya teramat sederhana, hin...