ilu.si
n sesuatu yang hanya dalam angan-angan; khayalan
Kerasnya dunia, tajamnya stigma, dan peliknya problema yang tak dapat jadi sebab utama untuk gantungkan hidup pada seseorang. Sudah tahu tapi kerap menjadikan diri sebagai contoh rusaknya pola pikir penghuni bumi. Akankah tanah yang tetap menjadi tumpuannya? Atau berlanjut menjalani hidup mengalir apa adanya?
Tak ada alunan lagu yang mengusik rungu, ataupun aroma menusuk yang memabukkan kalbu. Juga bintang dengan lengkungan sabit yang memikat jiwa. Yang ada hanya sekumpulan suka yang tengah mengulum duka.
Ini adalah tentang gurat bahagia yang disemat sendiri oleh takdir. Merasuki sela-sela relung. Lantas, buat laku seolah memintal keseluruhan asa.
Alasan-alasan dibalik mengapa ia masih sanggup menapak cagak pada kejamnya dunia. Tentang mereka semua, dibalik tawa sumbang yang dilantunkan oleh ibu kota. Masih jalani hidup meski gamang senantiasa mengamini. Masih terlampau kuat untuk tergelak dibalik luka. Kalau kamu ajukan tanya, semua seperti jiwa-jiwa yang dipaksa mati. Tak pernah bisa dengan bebas meniti. Hendak istirahat sejenak dari hiruk-pikuk tingkah manusia yang tiada habis tingkahnya.
Juli, 2020. Ann masih setia di rumahnya. Alasan lain pulang kampung bukan hanya karena corona virus, melainkan resign kerja. Namun di rumah, justru dilanda resah dan kesah. Ketika semua momen dibawa tenggelam sejauh angan terhempas angin pada netra milik Ibu, bicarakan segala macam hal dari normal hingga tabu.
Seumur hidup Ann menghela napas dua puluh tahun lamanya, masih akan selalu jadi waktu yang paling ditunggu ketika sang Ibu menyuruhnya untuk duduk menemaninya sekedar mengobrol. Pula, ketika dua kuasa milik Ibu mulai memegang dan meminta presensinya menemani senjanya dengan segelas teh hangat diatas meja. Ann begitu sadar apa yang selanjutnya akan terjadi.
Ibu, beserta seluruh wejangannya.
Tidak seperti remaja kebanyakan yang akan pasang raut wajah merengut tak karuan apabila diberi nasihat. Ann justru akan dengan sangat manis atur posisi, berusaha menyerap apapun yang dibicarakan oleh Ibu tentang dunia beserta tindak-tanduk kejamnya.
"Masih banyak kesempatan lain kok, Ann, jangan sedih terlalu. Pekerjaanmu yang sebelumnya biar jadi rezeki orang lain."
"Nggih, Bu," Ann hanya mengiyakan pernyataan sang Ibu. Bukan bagaimana, hanya takut salah bicara.
"Bangunan pencakar langit di sekitar kita tinggi, tapi hati kita enggak boleh sama kayak gitu. Jangan karena kamu mungkin punya uang banyak di saku lantas seenaknya buat laku. Yang hidup di bumi bukan cuma kamu, sama-sama ambil napasnya. Jangan serakah."
"Selalu ingat hal itu bahkan saat Ibu sudah enggak ada di sisi kamu, ya, Ann?"
Menggeleng, Ann benci saat seseorang mengangkat topik ini. Perpisahan menjadi kata yang terlampau familiar sekaligus asing pada telinga.
"Ibu, jangan bahas ini."
Ibu hanya menanggapi respon putri sulungnya dengan senyum tipis yang sengaja digurat pada wajahnya. Membuat Ann memilih untuk mendengus, berusaha menenangkan berbagai gejolak emosi campur aduk yang tiba-tiba merasuki nalar.
"Perpisahan itu nyata adanya, Ann. Kita sebagai manusia bisa apa? Ibu ngomong realita, hapus dulu asumsi buruknya. Dan enggak ada juga yang mau hilang dari kamu lagi. Termasuk Ibu."
KAMU SEDANG MEMBACA
KELAKAR
RandomRiuh tawa rengkuh sunyi, demi tutupi luka abadi. Dungu senyumnya setia terpatri pada parasnya meski lebam warnai luka. Jatuh luruh entah ke berapa. Dipermainkan lagi oleh semesta. Menulis sudah seperti obat untuknya. Inginnya teramat sederhana, hin...