Konklusi

114 61 3
                                    

kon.klu.si

n simpulan (pendapat)

Gadis itu terbangun jauh sebelum alarmnya bertugas. Kepalanya pusing ketika pandangan kabur karena cahaya lampu yang menusuk mata. Bisa-bisanya ia tertidur tanpa mematikan pencahayaan. Bagaimana kalau nanti melihat nenek tengah duduk melihatnya di sudut ruangan? Ia tidak ingin hal bodoh itu terjadi lagi. Pemandangan semu yang buat tangis seketika melaju turun menuruni kedua pipi, ditampar oleh kenyataan yang lagi-lagi membuat dagu harus senantiasa mendongak.

Lagi pula, mau sampai kapan delusinya berpusat pada Aina? Jenama sang nenek yang telah diukir dengan pahatan sederhana di atas nisan, tempat peristirahatan terakhir yang bisa ia kunjungi. Nenek suka bunga, Ann membawanya setiap bertamu. Bertamu, aneh sekali rasanya mengingat kini mereka tidak lagi berada dalam atap yang sama. Sudah hampir 7 bulan, nenek tidak ada di sini.

Terkutuk seluruh pemikiran pukul tiga pagi, lengkap dengan pikiran buruk yang bermukim jam segini. Ann menangis lagi. Napasnya dihabisi oleh isak tangis. Ia dengan segala luka yang masih digenggam tetap berada di sini. Tempat di mana pertama kali ia terjatuh. Ia belum ke mana-mana.

Memeluk kedua lututnya yang masih bersembunyi dibalik hangat selimut usang berwarna kelabu, ia menumpukkan dagu di sana. Tatapannya nanar serta kosong melihat dinding. Berharap keajaiban datang, entah dalam bagaimana pun bentuknya untuk sekedar menjadi hadiah.

Ini adalah ulang tahun pertama tanpa nenek. Jangan tanya bagaimana berharganya sosok nenek bagi Ann selama ini. Sudah seperti ibu.

Dari kemarin-kemarin, Ann sudah merencanakan untuk tidur seharian. Semenjak pagi hingga bertemu dengan pagi lagi. Untuk menghindari kesedihan.

Sudah musim hujan.
Januari. Ann memang cocok lahir pada bulan ini. Siapa Ann? Untuk tidak menyalahkan dirinya atas lahir yang demi seluruh langit dan bumi tidak pernah diminta? Omong kosong. Padahal keberadaannya juga bisa disebut anugerah.

Detik ke lima puluh sembilan, Ann memejamkan mata. Tadi, mimpinya aneh. Yang baru saja membuatnya terbangun hingga sakit kepala sulit ditolerir tingkat kesintingannya.

Bayangkan, di mimpi itu, Ann bahagia. Yang buat mirisnya adalah Ann dan kata bahagia tidak pernah menjadi satu kesatuan yang hadirnya utuh. Selanjutnya, pelipisnya dipijat oleh ibu jari dan telunjuk ketika menyadari bahagia yang memang saat ini dikhususkan untuk kehadirannya mungkin memang hanya lewat mimpi.

Coba hitung berapa usianya sekarang? Sudah 21 tahun lamanya Ann merasa tidak adil dalam meraup napas. Sebenarnya bisa makan pada esok hari saja sudah mukjizat Tuhan yang kerap ia ingkari, doanya terlampau berpusat untuk tidak menangis lagi.

Ayo kita kerucutkan pada mimpi apa yang baru saja dialami gadis yang tengah berkurang usia, karena yang bertambah hanya perihal angka. Angka pun kadang kejam, ya? Menjadikan patokan bagaimana seseorang harus bersikap, kalau tidak sesuai tentu akan ada komentar tidak mengenakkan hati. Oh, ada yang bilang saat umurmu bertambah, maka begitu pula dengan masalahmu. Kamu gitu, nggak?

Ann, sudah tidak mau tahu. Lelah sekali mengurusi segala macam asumsi buruk dalam kepala. Menunduk, tenggelam dalam lipatan tangan yang sengaja disatukan, seolah kalau terlepas ia bisa hancur-lebur pada detik itu juga. Ia menghela napasnya sejenak, mengingat tentang mimpi apa yang baru saja dilakoni.

Di sana, di mimpi itu, Ann melihat nenek.
Oh, memang apa yang baru? Ia sering melihat nenek ada di dalam mimpinya. Namun biasanya akan ditempatkan pada ruangan serba putih, tempat di mana ia akan meraung sejadi-jadinya tatkala presensi nenek perlahan pudar dilahap oleh cahaya. Membuatnya hilang selamanya.

KELAKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang