[4] - Pentas Seni

823 164 25
                                    

Happy reading! Jangan lupa vote dan komen sebagai bentuk apresiasi!

^ ayo streaming WayV.

***

"Kuylah, Jev."

Gue mendelik geli melihat Devan mohon-mohon dan bertingkah lucu cuma biar gue mau gantiin posisi gebetannya buat nonton pensi di sekolah sebelah.

Jadi tadinya dia mau nonton sama gebetannya, cuma ditolak. Biar enggak rugi, akhirnya dia ngajak gue karena kebetulan yang lain juga lagi nggak bisa.

"Ngapain sih?" tanya gue malas. Iyalah, malam minggu enaknya di rumah. Pacaran sama gitar.

Padahal punya pacar, tapi pacarannya sama gitar. Gue doang kali ya?

"Temenin gue, lah. Gratis loh ini lo nggak usah bayar. Kapan lagi coba."

Gue memutar bola mata males, Devan dan keras kepalanya emang satu paket yang nggak bisa gue pisahin.

"Yaudah. Jemput gue, ya. Males bawa motor."

"Hehe. Oke."

Karena kebetulan gue udah baikan sama Gigi. Yang artinya gue nggak harus datang ke rumah dia untuk minta maaf langsung. Makanya gue terima ajakan Devan.

Gue nggak tahu kenapa menurut orang-orang tingkah gue ini aneh. Tapi gue selalu bawa buku pelajaran kemanapun gue pergi. Bahkan sebatas ke mall.

Enggak tahu juga kenapa, kayaknya itu diluar kepala gue. Tapi gue seneng, soalnya kalau lagi nemenin Mama belanja, pasti lama banget dan gue bisa nyicil ngerjain tugas biar ada kerjaan dan enggak terlalu bosen.

Termasuk di kursus musik. Fyi, gue kursus musik. Kursus gitar. Biar pinter.

Razan, Allen, dan Nethan les vokal. Sedangkan gue, Devan, dan Bang Martin gitar. Kalau ditanya kenapa, itu karena gue milih yang kelihatannya paling gampang. Padahal enggak segampang yang gue kira.

Kemarin gue baru aja tau kalau Jelita juga les musik di tempat yang sama. Sekali lagi, gue dibuat keheranan sama bakat dan potensi dia. Ini orang emang bagus di semua bidang apa gimana, sih?

Dia bisa piano, gitar, biola, drum, bahkan vokal pun lumayan. Gila, gue langsung merasa nggak ada apa-apanya dibanding dia.

Tapi gue bertanya-tanya. Kapan ya dia melajarin itu semua?

Gue lupa, Jelita kurang bagus di olahraga. Waktu itu, pernah ada ulangan praktik sepak bola. Ujiannya pinalti bola, dan dengan konyolnya dia justru nendang tanah yang ngebuat lututnya luka karena jatuh dan sepatunya kelempar jauh nyaris kena muka gue yang diminta jaga gawang.

Ternyata dia juga bukan manusia sempurna.

***

Dari tadi sore, dan gue udah sibuk menentukan outfit apa yang bakal gue pakai nanti malem. Sampai Mama ngeledekin gue, "Kamu tuh ribet, kayak cewek aja."

Walaupun cuma pentas seni biasa, paling nggak gue harus kelihatan spesial dan lebih cakep dariada biasanya. Barangkali bisa ketemu Gigi tanpa janjian dan ngegombal, "Eh, ketemu? Padahal kan nggak janjian. Jangan-jangan kita jodoh!"

Gue pernah sih mencoba bilang kayak gitu. Tapi bukannya berhasil bikin dia tersipu malu, gue justru dapet luka merah di lengan gue karena dia mukul-mukul lengan gue dengan wajah menahan malu.

Padahal niat gue kan ngegombal cringe ala cowok idaman di novel-novel. Ujungnya justru gue malu-maluin dia.

Karena jam udah condong ke angka 7, akhirnya gue memutuskan untuk siap-siap dengan pakaian yang akhirnya dipilih sama Mama karena katanya gue ribet. Berhubung gue anak yang baik, gue nurut aja.

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang