[11] - Mama Jelita

585 114 16
                                    

Happy reading, don't forget to leave vote dan comments!

***

"Ya elah, cuma ngemall biasa. Mager amat. Ajak Jelita, deh."

Gue mengerinyit mendengar kata-kata Nethan barusan, "Terus maksud lo Jelita cewek sendiri diantara gue, lo, sama Renan? Dikira anak sekolah cuma satu dua apa yang kenal sama lo."

"Lah, terus?"

"Ya lo kaga mikir Jelita bakal dibilang yang aneh-aneh? Kemarin gue makan es krim sama dia aja udah dituduh pelakor," protes gue.

Hari minggu masih menunjukkan pukul 7 pagi. Dan Nethan sudah menghubungi gue meminta agar gue mau nemenin dia dan Renan pergi ke mall. Entah apa tujuannya. Gue nggak paham.

"Wah, baru putus udah perhatian aja nih sama cewek lain."

Gue menghela napas, "Kalau bukan temen udah gue hujat."

"Santai, bos. Nanti lo sama Jelita. Gue sama Renan, kok."

"Lah terus ngapain ngajak gue sama Jelita?" tanya gue.

Sebenarnya gue tahu alasan utamanya, sih.

Nalangin dulu kalau uang mereka kurang. Gue ikhlas, kok. Cuma kadang-kadang agak bingung aja kalau lago nggak punya duit. Syukurlah sekarang lagi cukup.

Jangan dikira gue minta duit ke Mama atau Papa. Nggak, gue buka jasa ngerjain tugas. Karena kadang nggak ada kerjaan dan bosen mau ngapain aja, sih. Lagipula untung juga, duit jajan gue nambah dari hasil kerja keras gue sendiri. Dan ngerjain tugas orang juga bikin pengetahuan gue nambah.

"Hehe."

Gue mendengus kecil, "Yaudah. Gue ke rumah Jelita dulu."

"Lah ngapain? Kenapa nggak chat aja?"

"Izin sama orang tuanya lah. Yakali gue ngajak anak orang tapi nggak izin."

"Oke. Gue nggak heran kenapa Gigi bisa klepek-klepek sama lo."

Asli, gue masih sensitif tiap kali denger namanya.

"Nggak usah sebut-sebut namanya lagi."

***

Gue berdeham canggung. Pukul 9, setelah gue kira-kira kemungkinan banyak keluarga udah selesai sarapan, gue berangkat ke rumahnya Jelita.

Tangan gue gemeter padahal cuma mau mencet bel rumahnya. Rasanya gue mau marah aja ke Nethan.

"Assalamualaikum."

Masih nggak ada jawaban. Jadinya gue diem di depan pintu menunggu pintu dibukakan. Pegel sih, apalagi matahari udah mulai panas. Tapi lumayan, bagus buat tulang biar gue makin tinggi.

"Waalaikumussalam. Eh, ada Jevan. Masuk, Nak," ajak Mamanya Jelita.

Gue nggak tahu Jelita manggil dengan sebutan apa. Karena itu gue ngerasa canggung sekarang.

"Iya," kata gue malu-malu.

Asli, ini bukan Jevan banget. Ngapain gue mendadak sok manis dan sok kalem kayak gini, sih?

Tolong bantu gue muter otak buat nyari kata-kata yang terkesan sopan. Sepanjang perjalanan kesini gue sibuk berpikir tentang itu. Dan masih belum ketemu jawabannya.

Gue bisa melihat rumah Jelita yang sederhana tapi rapi dan bersih. Ada foto keluarga yang dipasang rapi, tanaman-tanaman yang gue yakin itu punya Mamanya. Dan gue bisa lihat ada beberapa pasang sepatu roda di rak sepatunya.

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang