[ Jelita's Side 2 ]

431 84 16
                                    

Yey update lagi! Happy reading!

Like komennya dong aku kangen bacanya:(

praying circle:

🕯 🕯
🕯 🕯
Sider muncul
🕯 +vote komen 🕯

🕯 🕯
🕯 🕯
***

"Halo, Jel."

Gue senyum. Orang yang ngebuat gue duduk di kafe sekarang udah dateng setelah gue nunggu lumayan lama.

"Maaf ya tadi agak repot di rumah. Adek gue nih," katanya tertawa.

Gue senyum, "Santai aja, Zan. Ada apa nih tiba-tiba ngajak gue ketemu?"

Dia ngeluarin banyak barang dari tas yang dia bawa. Ada buku dan selebaran kertas poster.

"Gue mau minta tolong sebenernya, Jel. Tapi nggak apa-apa, kan?" tanyanya.

Bismillah, serius, niat gue cuma bantuin dia bukan niat balik suka ke Razan lagi. Karena satu minggu yang lalu gue memutuskan untuk meyakinkan diri sendiri gue sukanya sama Jevan, gue nggak boleh gampang oleng cuma karena Razan baik banget sama gue begini.

Gue nggak tahu apapun tentang hidup Razan, begitu juga dia. Jadi, gue memilih mundur. Kita memang enggak pernah nyatain apapun, cuma sebatas dekat. Enggak seharusnya gue nunggu kejelasan dari Razan disaat ada yang sayang sama gue, kan?

"Boleh. Ini poster apaan, Zan?"

"Proyek futsal. Buat classmeet, Jevan juga ikut, kok," katanya seolah paham. Gue mendelik.

Jadi.. Razan beneran nggak pernah naruh perasaan apapun ke gue?

"Jevan?" Bodoh, Jel. Malah nanya tentang Jevan.

"Iya, Jevan." Razan senyum, "Lo suka sama dia, kan?"

Gue mendelik. Ini emang Yera mulutnya bocor kemana-mana, Jevan bilang sesuatu ke Razan, atau dia nebak sendiri dari tingkah gue?

"Jangan kaget. Dari tatapan mata lo ke dia aja kelihatan, Jel."

"Hm." Gue berdeham, "Peka ya lo masalah begitu."

Razan ketawa. Entah apa yang dia ketawain.

Kalau bukan karena kata-kata Yera yang nampar gue minggu kemarin, mungkin gue lagi seneng banget hari ini, Zan.

Kata Yera, "Lo yakin Razan emang ada rasa sama lo? Dia tuh tipikal kalem, Jel. Biasanya cowok kayak dia tuh milih ukhti-ukhti atau cewek kalem yang suaranya lemah lembut."

Gue nggak perlu ngerasa sakit hati sama kata-katanya Yera. Udah terbiasa sih lebih tepatnya. Lagipula gue kalau ngomong juga bahasanya mirip-mirip alias pedes dan nyindir.

Jelas, Razan nggak mungkin suka sama gue. Gue banyak tingkah--bahkan Jevan juga mengakui itu walaupun dia nggak masalah. Suara gue nggak lemah lembut. Gue bukan perempuan alim kayak yang mungkin dia dambakan di sepertiga malamnya. Enggak, gue jauh banget dari itu semua.

Gue bukan mundur secara terpaksa, lebih tepatnya gue sadar diri kalau gue bukan perempuan yang dia selipkan namanya di setiap doanya. Enggak, bukan gue.

"Iyalah. Gini-gini gue juga gaul ya," katanya.

"Ini poster lo bagiin aja ke anak ekskul lo. Selain Allen sama Renan soalnya mereka udah gue kasih," jelas Razan membagi posternya.

"Nggak ada yang versi digital, Zan? Kan lumayan, lebih hemat juga," usul gue.

Dia mendelik kecil. Kayaknya sih setuju sama usul gue.

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang