[18] - Matematika

439 84 14
                                    

Baca judulnya udah pusing kah? Wkwk. Tenang, nggak disuruh ngitung kok.

Happy reading! Leave vote and comment, please! :D

***
Ini bener-bener bikin gue kaget. Gue udah bilang kalau biasanya gue remidi bahasa indonesia, kan? Tapi kali ini enggak.

Kelas gue dibuat heboh kali ini. Gimana enggak? Kelas gue yang biasanya nilainya diatas rata-rata mendadak remidi matematika semua. Mampus aja dimarahin Mama gue.

Iya, termasuk Jelita. Gue bisa lihat dia kaget parah waktu lihat pengumuman di group kelas.

"Ini yang bikin soal siapa sih anjir," umpat Jelita sambil jalan bolak-balik di depan kelas. Gue yang lagi memastikan apakah gue bener-bener remidi kaget.

"Bu Sari, Jel," jawab gue menyebutkan guru matematika kelasnya Devan yang memang terkenal galak.

Devan pernah cerita ke gue. Waktu itu, baru hari pertama masuk sebagai anak kelas 11. Tiba-tiba langsung dikasih latihan soal---yang nilainya katanya bakal pengaruh ke nilai akhir. Padahal beneran belum dijelasin apapun. Ya wajar sih.

"Oh, pantes." Jelita langsung diam. Gue ketawa, Jelita emang anaknya nggak mau berurusan sama guru-guru yang terkenal galak di sekolah. Kata dia, dia bakal nangis ditempat kalau dibentak sama guru di depan kelas.

Ya iya sih, namanya di depan kelas pasti malu. Lagipula kadang-kadang guru gue selalu kasih jam kosong tapi menuntut nilai sempurna. Padahal nggak semua murid itu bisa belajar dengan cara membaca buku atau ngerjain soal. Ada yang kayak Jelita, dia selalu lebih suka mendengarkan penjelasan guru dan sesi tanya jawab dibanding membaca.

Beda sama gue yang tipe belajarnya cenderung membaca. Karena itu gue nggak banyak menemukan hambatan meskipun kadang emang ada materi yang gue nggak habis pikir kenapa susah banget.

"Lo udah sarapan?" tanya gue.

Dia mengangguk, "Udah, kok. Tadi sempet sarapan dikit."

"Kok dikit?"

"Kesiangan semalem belajar matematika. Ternyata nggak salah semalem gue belajar matematika," omelnya. 

"Gue mau ke kantin," kata gue. "Gue beliin apa sekalian?"

"Nitip aja." Dia ngeluarin uang dari saku roknya, "Mi goreng."

Gue mencibir, "Kalau pagi baru makan dikit tuh jangan makan mi. Nggak baik."

"Ck, iya-iya. Bakso aja bakso," katanya.

"Bakso nggak bisa dibawa ke kelas, Jel. Bisanya makan disana," kata gue frustasi. Ini dia kenapa tumben banget banyak mau begini.

"Lah, iya?" tanyanya. Gue mengangguk.

Jelita mendengus kecil, "Yaudah, nasi rames aja."

"Wih, doyan lo," kata gue menerima uang dari dia.

"Iyalah. Enak."

***

Pengumuman remidial udah keluar semua. Dan syukurlah gue cuma remidi matematika. Sama kayak Jelita, hehe.

"Jel, lo ngerti kagak?" tanya gue ke mejanya. Dia duduk persis di belakang gue padahal matanya minus dan katanya udah nambah.

Karena itu, dia selalu nyalin catatan gue setiap pelajaran. Matanya burem buat lihat ke papan tulis.

Jelita menggeleng, "Lo tau baru nomer 3 aja gue udah salah? Nomer 3 pilihan ganda, buset."

"Gue juga salah kok yang itu," kata gue setelah lihat jawaban, "Jawaban lo apa?"

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang