[17] - Ruang Ujian.

424 90 18
                                    

happy reading y'all and i'll wait for your vomment HAHAHAHAHA.

***
Ujian Bahasa Indonesia. Salah satu mata pelajaran yang gue sering remidi dan biasanya gue bertanya-tanya gue sebenernya orang mana karena nilai bahasa inggris gue lebih tinggi. Tapi Jelita suka mata pelajaran ini, jadinya gue termotivasi buat belajar juga.

Tempat duduk Jelita di dekat Razan. Enggak tau, guru gue emang naruh orangnya acak. Razan di urutan ke tiga, Jelita di urutan ke empat, sementara gue di urutan pertama alias paling depan.

Sedikit deg-deg an, tapi gue nggak perlu takut karena gue nggak ada niatan nyontek. Selain karena nggak ada niatan nyontek, gue bisa digiling Jelita kalau ketahuan nyontek.

Jelita memegang teguh prinsip kejujuran dalam ujian. Jadi walaupun dia dihujat sama orang-orang karena nggak mau kasih jawaban waktu ulangan, dia nggak peduli dengan itu. Tapi gue selalu lihat dia dengan ikhlas ngebantu temen lain yang kesulitan ngerjain tugas. Alias, lebih baik nanya semua materi sama dia sebelum ujian daripada nyontek. Jelita akan jelasin serinci-rincinya kalau ada yang nanya materi sama dia.

Gue belum ngomong apapun sama dia sejak tadi pagi. Kita emang papasan, tapi rasanya mulut gue terlalu kaku buat ngomong sama dia. Dan Jelita juga terlihat lagi nggak mau ngobrol sama gue.

Dia marah, kah? Atau kalau gue boleh kegeeran, dia cemburu?

"Heh, fokus," tegur Devan.

Iya, ruang kelasnya diacak dan kebetulan gue sama Devan sebelahan. Gue sekelas sama Razan, Jelita, dan Devan.

Tapi tanpa sadar tatapan gue selalu mengarah ke arah Jelita dan Razan. Mereka kelihatan lagi ngobrol, dan Jelita juga ketawa-ketawa.

"Heh!" tegur Devan lagi.

Beruntung pengawasnya hari ini cenderung cuek dengan keadaan kelas. Guru gue yang ini emang nggak pernah mempermasalahkan kalau ada yang nyontek. Tapi waktu ujian agama biasanya beliau bakal bilang, "Ujian agama kalau bisa jangan nyontek, ya. Takut diazab."

Ruangan kelas gue rusuh banget karena gurunya tidur. Iya, tidur beneran karena daritadi ada temen gue yang mau izin ke kamar mandi nggak bisa. Dia manggil guru gue pun nggak disahutin sama sekali. Akhirnya sekarang dia lagi lari-lari kecil di depan kelas.

Rasanya mau bilang kalau gue cemburu. Tapi nggak yakin. Apa enggak terlalu cepet buat menyatakan kalau gue cemburu? Ini baru dua bulan pasca gue putus dari Gigi.

"Cemburu lo?" tanya Devan bisik-bisik.

Gue langsung melotot, "Enggak."

"Terus ngapain lo liatin terus gitu?" tanyanya menyelidiki.

"Ya emang kenapa?"

"Ya nggak apa-apa, sih," katanya. "Kan gue bisa bantu kalau lo emang beneran cemburu."

"Lo mau bantu apa emang?"

"Emang lo cemburu beneran?"

Gue speechless. Ini kenapa orang-orang di sekitar gue selalu bisa bikin gue kicep, sih? Cara mereka ngomong tuh mirip-mirip.

"Cemburu ya lo?"

"Ck." Gue mendecak. "Enggak, udah buru ngerjain. Ini hampir bel. Berisik."

Gue udah selesai ngerjain dan ngecek ulang sementara Devan belum. Alhasil, gue kembali nengok ke arah Razan dan Jelita yang asyik ngobrol bareng.

"Dev, kayaknya gue perlu air dingin. Panas banget disini."

***

Ujian kedua hari ini agama. Karena jam istirahat masih lama sementara Razan dan Devan sibuk sama urusannya masing-masing; Razan yang shalat duha dan Devan yang ngapel gebetannya di ruang kelas lain, lebih baik gue ngulang pelajaran karena masih kenyang tadi.

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang