[Extra Chapter] - Jelita

740 71 14
                                    

Keputusan gue saat itu untuk menyudahi hubungan gue dengan Jevan udah tepat, gue yakin itu. Harusnya, dari awal gue sadar, kita emang nggak cocok.  Baik gue ataupun Jevan, kami sama-sama keras kepala, punya gengsi setinggi langit, dan tidak mau mengerti. 

Di sisi lain, gue juga sadar.  Enggak ada dua hubungan manusia yang benar-benar cocok. Pasti ada aja cekcok atau ketidakcocokan yang bisa ditemui.  Tergantung cara kita menanggapinya kalau menurut gue. Sayangnya, baik gue maupun Jevan, enggak ada yang mau mengalah dalam kasus ini. 

Di hari bulan pertama, kedua, ataupun bulan ketiga setelah putus, gue nggak merasakan perubahan yang sangat berarti dalam hidup gue.  Well, gue udah terbiasa apa-apa sendiri, tanpa laki-laki. 

Walaupun pernah, sih, sekali. Gue nangis tengah malam karena kangen Jevan. Padahal... Hari-hari sebelumnya gue selalu merutuki dia karena membuat gue sakit hati. 

Iya, gue pernah semarah itu sama dia.  Menganggap dia laki-laki paling brengsek yang pernah gue temui.  Gue pernah memaki-maki dia karena membuat gue sulit untuk membuka hati lagi.  Gue pernah, selalu memutar bola mata setiap kali melihat wajahnya di zoom meeting.  Gue dan dia yang pernah sebucin itu, jadi saling membenci. 

Gue suka menceritakan tentang hubungan gue ke sahabat-sahabat gue.  Yang gue akui, sikap itu nggak selamanya baik.  Harusnya gue nggak terlalu mengumbar keburukan apa yang terjadi dalam hubungan gue.  Tapi satu hal yang Jevan enggak pernah ketahui adalah... Gue selalu excited setiap kali bicara tentang dia.  Sampai kadang gue lupa, dan berujung oversharing. 

Menurut gue, Jevan itu tertutup, banget.  Setelah satu tahun, gue bahkan baru tahu kalau dia punya adik lagi.  Jujur aja, gue merasa tersinggung saat ini.  Gue sempat merasa,  "Gue dulu tuh pacar lo, tapi seakan enggak tahu apa-apa tentang diri lo."

Sampai gue ada di satu titik dimana gue sadar.  Kalau hubungan itu yang menjalani dua orang. Hubungan gue sama Jevan berakhir itu bukan cuma salah Jevan.  Jevan keras kepala? Gue juga. Menurut gue Jevan terlalu posesif?  Gue juga, bedanya gue enggak pernah menunjukkan setiap kali gue cemburu.  Jevan itu komunikasinya buruk? Ternyata gue juga sama, gue enggak pernah mengajak dia bicara setiap kali ada sikap atau tingkah lakunya yang gue enggak suka.

Setelah melawan gengsi, akhirnya gue memutuskan untuk minta maaf ke Jevan.  Agak telat sih, tapi seenggaknya gue minta maaf. 

Enggak banyak hal yang berubah juga setelah gue minta maaf ke Jevan.  Gue sama dia berstatus mantan tapi berteman baik karena kami masih satu kelas. Yang masih sama adalah gaya bicara kami yang sinis satu sama lain.  Seakan-akan masih ada dendam.

Sampai akhirnya ada suatu kejadian yang membuat gue lumayan terpuruk.  Sore hari kala itu, gue bisa aja menghububgi Yera atau Ayu, atau teman-teman gue yang lain untuk bercerita. 

Tapi jari-jari gue rasanya bergerak sendiri, dan menghubungi nomor Jevan.  Bukan, bukan personal chat.  Tapi telepon. 

Reaksi dia? Jelas, kaget. Satu tahun lebih kami dengan komunikasi tidak jelas dan saling menyimpan dendam.  Tapi tiba-tiba gue menghubungi dia.

Telepon berdurasi sepuluh menit itu dengan ajaibnya berhasil membuat hati gue lega.  Baik gue maupun dia banyak bercerita sore itu.  Tentang beban-beban yang selama ini kami pikul sendiri, atau cerita-cerita receh yang dia lontarkan.

Sekitar sebulan kemudian, gue jatuh cinta lagi sama dia.  Entah, mungkin karena gue merasa didengarkan saat gue terpuruk. 

Ternyata, Jevan juga sama. 

Ini klise, sih.  Setelah putus, masih saling butuh, lalu balikan.  Sangat klise. 

Sifat Jevan berubah banyak.  Dia yang tadinya posesif, jadi membebaskan gue.  Dia yang tadinya cukup pemarah, jadi cukup sabar.  Keras kepalanya aja yang masih sama persis.  

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang