[22] - Jelita dan Yana

386 74 8
                                    

MARI KITA STREAMING WKWK!

Happy Reading!

***

"Lo yang pedes atau enggak?" tanya Jelita ketika gue lagi sibuk balesin chat dari adek gue.

"Yang pedes, pedes banget nggak, Jel?"

Jelita mutar bola matanya, "Ya mana gue tau, Jev. Kan gue enggak suka pedes."

"Lah, iya?"

"Gimana sih, padahal pacarnya loh. Enggak tau gitu, ck ck," katanya ketawa kecil karena tau gue lagi salah tingkah.

Sebenarnya kalau ditanya apa yang berubah dari Jelita semenjak gue jadian sama dia, gue enggak bisa menyebutkan banyak hal. Jelita enggak berubah, masih tetap Jelita yang ngomel dan ngumpatin gue setiap hari. Bedanya, setiap malem sekarang kita biasa belajar bareng via online atas pakai videocall. Gue merasa produktif.

Terkadang, rasanya memang ada perasaan insecure karena gue sebagai laki-laki justru lebih banyak nanya ke dia daripada dia nanya ke gue. Tapi gue sadar, setiap orang emang diciptakan dengan kelebihan mereka masing-masing. Buktinya? Jelita selalu nanya banyak ke gue kalau udah masuk pelajaran olahraga. Iya, dia sendiri ngaku mau teori ataupun praktik, dia enggak bisa olahraga dengan baik kecuali renang karena dia sempet les waktu SD.

"Yaudah, gue enggak pedes aja," kata gue akhirnya memutuskan.

Penggunaan bahasa kita juga enggak berubah. Kalau pakai aku-kamu, aneh aja rasanya karena udah kebiasa pakai gue-lo.

"Dih, tumben bener lo? Biasanya pesen yang pedes," cibirnya. Asli, Jelita ini tiada hari tanpa nyibirin gue. Ada aja salahnya gue. Tapi enggak apa-apa, gue paham kalau selera humornya emang begitu. Iya, dia melawak dengan nyindir gue tiap hari. Aneh.

"Lo kan enggak suka pedes."

"Lah, terus kenapa? Kan lo yang makan?" tanyanya mengerinyit heran.

"Gue tau lo suka banget kulit ayam. Kalau gue pesen yang pedes, nanti lo enggak bisa ambil kulit ayam gue," kata gue natap mata dia intens yang membuat dia langsung berdeham dan mengalihkan pandangan.

Gue ketawa kecil lihat dia, "Ngapa lo? Salah tingkah ya?"

Dia justru menatap sinis gue dan mendorong bahu gue menjauh, "Jauh-jauh lo, cari tempat duduk dulu, gue laper, nanti nggak ada yang kosong gue ngamuk biar lo malu."

"Kan gue bisa bikin lo luluh?"

"Kata siapa?" tanyanya menantang.

"Kata gue," kata gue tegas. Terbukti, dia langsung diem.

"Galak bener buset," cibirnya.

Gue terkekeh kemudian ngacak rambutnya pelan, tapi dia kayaknya emang kalau salah tingkah mendadak galak, "Buruan cari kursi atau gue ngamuk sekarang?"

"Iya-iya. Galak banget, untung sayang."

Setelah itu, gue segera nyari tempat duduk sebelum diamuk lagi sama Jelita. Padahal wajah salah tingkahnya lucu banget. Gue gemes.

***

"Nih pesenan lo," katanya sambil nata makanan dan minuman di meja.

Gue sama dia bener-bener enggak ada gambaran apapun di hari pertama kita jalan pasca jadian. Semuanya mengalir gitu aja, kita makan dulu, baru setelah itu ke toko buku karena ada buku yang mau dia beli. Gue maklum, pacar gue emang doyan banget baca buku.

"Ambil dulu kulit ayamnya, Jel," kata gue.

"Lah, kan lo belum makan?"

Gue menggeleng, "Nanti gue khilaf, gue habisin."

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang