[24] - Canggung

372 69 11
                                    

Happy reading bestie~

Vote comment yuk, karena itu adalah salah satu cara mengapresiasi karya yang kalian baca! ♥️

***

"Jel, beneran udah sembuh? Maksudnya, kalau lo emang belum baikan gue izinin, serius," kata gue.

"Lo mau izin sama siapa, hah? Sekretaris kelasnya gue. Gue yang nyatet izin," celetuknya.

Bener juga. Tapi menurut surat dokternya, hari ini Jelita masih harus istirahat. Sedangkan dia justru keras kepala masuk sekolah sekarang dengan dalih enggak mau tertinggal pelajaran. Padahal ada gue yang bisa ngejelasin dengan rinci ke dia.

Bukan sombong, itu faktanya.

"Nanti kalau ngerasa enggak enak, langsung ke UKS. Enggak usah ngeyel, ya?" pinta gue dengan sangat.

"Iya-iya. Bawel ah."

Sebelumnya, gue tau kalau Jelita emang keras kepala. Tapi gue nggak tau kalau ternyata dia sekeras itu. Setiap kali kita debat, entah masalah sepele ataupun serius, gue seakan nggak punya celah untuk menang dari dia.

Kalau udah begitu, gue cuma punya satu cara untuk mempertahankan pendapat gue. Pura-pura marah, dan Jelita akan teralihkan pikirannya dari topik tadi, dan berganti fokus ke gue.

"Jel, ini badan lo masih panas begini," kata gue setelah memegang keningnya.

"Jevan, gue punya tanggung jawab hari ini. Kalau enggak gue yang urus, kacau semua karena dari awal gue yang tau detailnya," kekehnya.

Gue mendenguskan napas kesal, "Yaudah, nanti gue bilang ke Allen sama Renan buat jagain lo."

"Jev, gue bukan anak kecil?"

"Gue cuma khawatir? Salah?" Ini kenapa gue jadi tersinggung?

"Gue tau lo tidur larut semalem. Udah tau lagi sakit kenapa masih tidur malem?" protes gue lagi.

"Jevan gue ngurusin tentang ekstrakurikuler! Gue emang biasa tidur sekitar jam 10. Gue enggak tidur malam buat hal-hal enggak berguna!"

"Lo lagi sakit, Jel. Pikirin diri lo sendiri sebelum lo mikirin orang lain," kata gue memendam jengkel. Setelah itu gue masuk kelas, meninggalkan dia yang terdiam di depan pintu kelas sendirian. Itu lebih baik daripada gue terus-terusan teguh sama pendapat gue dan jadi pusat perhatian satu sekolah karena bertengkar di depan pintu kelas.

***

"Ngapa lo?"

Kalau biasanya istirahat gue memilih makan bekal di kelas, kali ini gue memilih keluar ke kantin. Jelita izin sepanjang kelas buat ngurus ekstrakurikuler. Katanya memang mau ada acara dan Renan ikut, sedangkan Allen menolak ikut karena malas. Gue enggak heran sama alasan Allen. Udah terbiasa.

"Berantem sama Jelita?" tebak Bang Martin. Gue mengangguk pasrah.

"Lah? Kenapa galau?" celetuk Nethan.

"Belum pacaran kok udah bertengkar. Gimana kalau pacaran," celetuk Allen tengil. Gatel banget tangan gue mau nyekek lehernya. Seandainya lo tau, Len.

"Ya wajar kali. Mau sedekat apapun juga pasti kan pernah cekcok," kata Razan kalem. Dia menggerakan alisnya ke arah gue. Gue paham, berterima kasih karena dibelain sama dia.

"Emang berantem kenapa dah?" tanya Devan.

"Badan dia masih panas. Tapi maksa masuk buat ekskul. Gue minta Renan buat jagain dia tapi kayaknya dia malah kesinggung," jelas gue.

"Dia bilang gimana?" tanya Bang Martin.

"Intinya dia ngerasa kalau gue anggap dia kayak anak kecil."

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang