[10] - Kerja Kelompok

592 118 36
                                    

Vote dan komen, yuk! Ayo kita sama-sama tunjukkan kalau kita mengapresiasi karya yang kita suka! :D

***

Pagi kali ini, gue bangun agak kesiangan. Mungkin karena semalem tidur larut ngegalau. Jadinya gue enggak ketemu Jelita di depan gerbang sekolah, tapi ketemunya di depan pintu kelas.

"Sorry, Jev. Semalem gue ketiduran. Ngantuk banget asli," kata Jelita pas kita enggak sengaja papasan.

"Santai, Jel. Lagipula gue juga telponnya tengah malem. Ganggu ya gue?"

Dia menggeleng, "Nggak, elah. Lagian gue juga belum tidur. Malah habis denger suara lo jadi bisa tidur."

"Hm, berasa didongengin ya lo?"

"Iya. Tapi dongeng yang horor. Suara lo serem soalnya."

Setelah itu gue mendelik. Dan dia dengan santainya lari duluan duduk di tempat dia. Di sebelahnya Yera.

"Lah, Jev. Ngapa muka lo?" tanya Yera.

Gue langsung pegang muka gue. Emang muka gue kenapa? Cakep gini kok, kayak biasanya.

"Gak tidur lo semaleman?" tanya Yera.

Jelita ngeluarin buku-buku dari tasnya, "Nggak, habis putus noh. Semaleman telpon gue."

Gue bisa lihat Yera keheranan, "Buset, kenapa telponnya Jelita?"

"Ya emang kenapa?" tanya gue sewot. Ya emang apa salahnya kalau gue telpon Jelita?

"Kan ada banyak orang, Jev. Circle pertemanan lo tuh lebih pro masalah beginian daripada temen gue nih," kata Yera menyenggol lengan Jelita. Gue ketawa waktu muka Jelita langsung berubah galak dan Yera langsung ciut.

"Terus?"

"Kenapa lo nggak ngehubungin temen-temen lo itu dan justru nelpon Jelita?" tanya Yera menginterogasi. Ngerepotin aja ini anak.

Gue menggeleng, "Ya enggak tahu juga, sih. Yang kelintas di pikiran gue Jelita. Ya gue telpon dia aja."

Setelah bilang gitu, gue langsung menyingkir dan duduk di kursi gue. Samar-samar, gue bisa denger suara Yera yang sibuk ngegoda Jelita dan suara marah Jelita.

Sial, gue enggak bisa nahan buat senyum

***

Pelajaran kali ini enggak jam kosong. Kebetulan gurunya katanya udah bawa bekal dari rumah jadinya nggak harus jajan bakso di depan sekolah.

Lagipula gue heran, apa enggak bosen sih setiap hari menu makan siangnya bakso?

Gue heran. Gimana bisa walaupun dipilih acak, kelompok gue isinya Jelita, Razan, sama Yera? Asli, ini salah satu dari mereka udah rencana apa gimana, sih?

"Oke. Halo," sapa gue.

Karena kita berempat udah kumpul di satu meja, dan enggak ada satu orangpun yang buka suara. Gue paham sih gimana canggungnya jadi Jelita. Satu kelompok sama orang yang dia taksir, cuy.

"Ini.. Mau gimana?" tanya Razan ikut angkat bicara.

Jelita berdeham. Asli, gue enggak bisa nahan ketawa ngelihat dia yang biasanya lawak mendadak kalem dan canggung begitu.

"Apa lo ketawa-ketawa?" sewotnya.

"Dih, kan ibadah. Iya nggak, Zan?"

Gue sengaja bawa-bawa Razan. Karena gue tau, dia bakal langsung diem kalau udah berhadapan sama Razan, cowok yang dia taksir.

"Iya," jawab Razan. "Yaudah ini mau kapan, dimana, terus gimana?"

"Di rumah gue mau nggak?" usul Yera.

[1] Hai, Jelita.  [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang