iii. makan siang

344 78 10
                                    

Happy reading!
.
.
.
.




"Gimana Krys? Udah ada kabar belum dari Wendy?"

Krystal yang sedang serius mengatur jadwal sang bos untuk dua minggu ke depan menoleh. Ini sudah tiga hari sejak Jae memergokinya video call dengan Wendy tempo hari. Setiap harinya, pria itu tidak pernah absen menanyakan hal yang sama padanya. Ia bosan dan kesal.

"Belum ada, Pak. Kenapa sih, Pak? Gak sabaran banget kayanya..." cibirnya pelan. Ia cukup heran dengan sikap bos nya yang terlihat begitu tertarik dengan sahabat mungilnya. Memang sih, Wendy itu manis dan imut. Tapi...

Astaga! Apa jangan-jangan Wendy itu adalah tipe ideal Jaerico Satya Atmaja? Wah, andai saja ia tahu sejak lama.

Jae menatapnya datar, tanpa ekspresi. "Itu bukan urusan kamu."

Jae tahu dirinya begitu gengsi. Tapi biar bagaimanapun, ia tidak ingin Krystal mengetahui sejauh apa perasaan dan ketertarikannya pada Wendy. Kalau bukan karena sahabat Wendy, Jae juga malas berurusan dengannya di luar pekerjaan. Ia, tidak ingin akrab dengan rekan kerjanya. Baginya, rekan kerja adalah rekan kerja, bukan untuk menjadi teman atau sahabat.

Krystal mendesis sebal. "Hm.."

Jae mengambil sebuah name tag dari salah satu laci meja kerjanya. Bibirnya tersenyum manis membaca nama di name tag tersebut.

Tak lama berselang, ia memasukkannya kembali dan melirik arlojinya.

Sudah jam satu siang.

Jae lantas berdiri dan berjalan keluar ruangan dengan tangan yang berada di saku celananya. Tanpa menoleh sedikit pun ia berkata, "Saya mau makan dulu."

Selalu begitu. Krystal yang sudah hafal kebiasaan Jae hanya bisa mengelus dada mendengarnya. Selama enam bulan, tidak pernah sekalipun Jae mengingatkannya untuk makan siang. Memang sih, untuk ukuran seorang bos, ia tidak semerepotkan direktur yang lain. Jika boleh jujur, Krystal senang karena ia tak pernah mengurusi urusan pribadi Jae sama sekali. Bahkan, pria itu hafal dengan tepat setiap jadwalnya.

Hanya, karena pekerjaan Jae sangat banyak, maka pekerjaannya pun banyak. Oleh karena itu, Krystal bisa memahami dan menoleransi sikap acuh sang bos.

---

Chandra menggelengkan kepalanya mengikuti alunan lagu yang dimainkan dari speaker. Terkadang tangannya pun bergerak seolah sedang bermain gitar. Bibirnya komat-kamit menyanyikan lirik lagu.

Tapi meski demikian, semua pekerjaannya tetap berjalan dengan baik. Hanya saja, tampilan prosesnya memang seperti itu. Jauh dari kata hening dan fokus.

Tiba-tiba perutnya berbunyi.

Ia tertegun dan berhenti menatap layar komputer di depannya. "Kok belum ada yang nganterin makan siang ya? Gue cek aja deh ke bawah..."

Pria itu lantas keluar dari ruangannya menuju dapur.

.

.

.

Siang ini Porta begitu ramai hingga cukup membuat pegawainya kewalahan. Tampaknya, usaha Chandra untuk meminta teman-temannya mengunggah foto saat di restorannya cukup berpengaruh. Hampir semua kursi terisi dibarengi dengan hilir mudik para pegawainya.

Tepat ketika seorang pria tinggi berkacamata dengan setelan formal duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa—Porta pun penuh. Pria itu diam sembari memperhatikan interior restoran bergaya Italia yang beberapa hari lalu ia lewati saat pulang kerja hingga berakhir penasaran dan datang hari ini.

BLIND DATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang