xi. the boys

256 72 46
                                    

Happy reading!
.
.
.
.





"Kamu ngapain di sini?"

"A-aku...aku itu.."

Melihat Wendy yang kebingungan, Jae langsung menjawab. "Saya yang ajak Wendy ke sini." Datar, sedatar raut wajah jomblo melihat orang lain pacaran.

Chandra dan Wendy menoleh ke arahnya dengan ekspresi yang berbanding terbalik. Wendy yang terkekeh, sedangkan Chandra begitu sinis menatapnya. Saling menatap, Chandra dan Jae pun dengan cepat mengingat satu sama lain.

Jujur, Chandra cemburu. Ia tidak suka cara pria yang pernah datang ke restorannya itu menyebut nama Wendy. Ia juga tidak suka melihat pria itu tersenyum pada gadis yang disukainya. Hatinya panas, mulutnya sudah siap mengumpat. Tangannya terkepal kuat. "Dia—"

"Oiya Mas Chan, ini Jae. Jaerico Satya Atmaja. Yang harusnya ketemu aku, tapi aku malah ngiranya kamu orangnya, Heeheh." Wendy terkekeh lucu karena masih belum sadar api cemburu di hati Chandra.

Chandra merasa begitu kesal dan marah mendengar kalimat Wendy. Jadi dia yang harusnya ketemu Wendy? Walaupun tahu jika blak-blakan sudah menjadi kebiasaan gadis itu, tapi untuk yang satu ini ia tidak bisa memakluminya. Bisa kah Wendy mengerti jika kalimatnya barusan membuatnya cemburu?

Jae tertawa kecil mendengar kalimat Wendy, terlebih karena respon yang ditunjukkan Chandra. Gadis itu kelewat frontal sampai tidak sadar sudah membuat Chandra cemburu buta dengan kepulan asap tak kasat mata di atas kepalanya.

Karena Chandra hanya diam, akhirnya Wendy bicara lagi. "Nah, Mas Jae. Ini Chandra, orang yang aku kira kamu waktu itu." Wendy tersenyum manis ketika menyebutkan nama Chandra sambil melirik, dan Jae tersenyum miris.

"Kenalan dong kalian," ucap Wendy mencairkan suasana. Ia bingung, sejak tadi Chandra hanya diam dan terlihat agak kesal, berbeda dengan Jae yang sesekali terkekeh.

Jae mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Chandra yang masih berdiri. Tapi bukannya menyambut tangannya, Chandra justru berkata, "Kita pulang."

Chandra menatap Wendy yang bingung. "Pulang?" tanya gadis itu memastikan.

Jae menurunkan tangannya. "Kita butuh bicara, Chandra." Ia kemudian melirik Wendy. "Wendy, kamu bisa tunggu di mobil aku aja."

Chandra paham apa yang akan pria itu bicarakan. Ia tidak takut atau apapun. Tapi dia tidak suka pria itu seenaknya meminta Wendy menunggunya. Di mobilnya pula. Apa-apaan?! "Wenca, kamu tunggu di mobil aku aja ya. Nanti aku anter kamu pulang."

Jae menyeringai. Sementara Wendy kini bingung ada apa dengan dua pria itu. Wajahnya merengut. "Kenapa aku gaboleh ikutan ngobrol sih?" kesalnya.

"Ini urusan laki-laki Wen. Kamu masuk aja ke mobilku." Chandra menatap tajam Wendy. Ia jadi ikut-ikutan kesal dengan sikap Wendy yang tidak peka akan situasi.

Jae tersenyum lebar memperhatikan bagaimana lucunya wajah Wendy yang merengut. "Iya, ini urusan laki-laki. Tapi lebih baik kamu masuk ke mobilku aja ya," ucapnya lembut dan begitu tenang berikut senyum yang ia berikan untuk Wendy.

"Mobil aku aja Wen!"

"Jangan, mobil aku aja."

Chandra dan Jae malah berdebat dan membuat kepala Wendy pusing. "Udah stop! Aku tunggu di luar, biar adil." Gadis itu setengah berteriak dan membuat Jae dan Chandra berhenti berdebat.

Kedua pria itu diam menatap kepergian Wendy keluar dari kafe. Ketika wajah gadis itu sudah tak terlihat karena terhalang oleh beberapa mobil yang terparkir, keduanya kembali saling menatap. Chandra jelas sekali sedang menahan emosi pada pria yang dilihatnya makan siang di Porta beberapa hari lalu. Ia tidak menyangka, dari semua orang ternyata yang harusnya bertemu dengan Wendy adalah pria itu

BLIND DATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang