(20) Alice

953 154 43
                                    

Berada di negeri orang memang sangat berbeda di banding berada di negeri sendiri. Seperti kata pepatah "Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri" Inilah impian Fadil, mengejar cita-cita nya sejak dulu ia impikan dirinya pun rela berjuang untuk membuat orang tuanya banggga atas usahanya. Dan inilah hasilnya, ia berhasil mendapatkan beasiswa di University of college London, salah satu Universitas yang terkenal di Inggris. Namun perjalannya tidak berhenti sampai situ saja, masih banyak mimpi yang harus Fadil kejar, Fadil yakin ia akan mewujudkannya satu persatu.

Fadil baru saja keluar dari mobilnya, lalu berjalan melewati sekumpulan Kakak mahasiswa, Fadil menyapa mereka ramah. Fadil memang selalu membawa mobil ke kampus, ini adalah perintah dari sang Umi karena jarak antara apartemen Fadil ke kampus nya itu lumayan jauh.
Fadil menatap sekeliling halaman kampus, ia sedang mencari seseorang. Kawasannya sangat luas, Fadil tidak menemukan sosok yang ingin ia temui.

"Hai." Fadil tersenyum ketika ada seseorang menyapanya hangat.

"Hai, Alice." Fadil membalas sapaannya. Di hadapannya ada seorang wanita berkulit putih pucat namun terlihat sangat cantik dengan rambut pirang sebahu. Panggil saja Alice, ia adalah senior Fadil.

"Kau tidak masuk kelas?" Ucap Alice sangat fasih berbicara Bahasa Indonesia, itu karena ibunya orang Indonesia. Dirinya pernah bercerita kepada Fadil kalau dirinya sudah 3 tahun tinggal di Indonesia, lebih tepatnya di Manado, pada usia 14 tahun. Jadi itu sebabnya dia lumayan fasih berbahasa Indonesia.

Fadil tersenyum tipis, "aku sedang mencari Diaz." Fadil mengotak-ngatik ponselnya, mencoba menghubungi Diaz.
Diaz adalah salah satu teman Fadil yang berasal dari Indonesia. Mereka terbilang sangat akrab.

Alice ber-oh ria. Dirinya memandang Fadil diam-diam yang masih sibuk dengan ponsel di genggamannya. Sejujurnya Alice menyukai Fadil, sejak awal bertemu beberapa bulan yang lau. Dirinya sangat kagum dengan kepintaran Fadil, dan juga sifat yang di miliki Fadil.
Tapi Alice sadar, jika dirinya dan Fadil tidak akan bersatu.
Alice memandang kalung salib yang ia pakai. Kemudian menghela napas berat. Lebih baik ia membuang perasaannya jauh-jauh. Karena sampai kapan pun ia dan Fadil tidak akan pernah bersatu, apalagi Fadil terkenal dengan sosok orang yang ahli agama.

Alice memandang sebuah tasbih berwarna biru yang selalu Fadil genggam. Alice pun bertanya.

"Fadil, kenapa kau selalu membawa benda itu?"

Fadil tersenyum.

"Ini adalah tasbih. Karena tasbih ini yang membuatku selalu ingat dengan Allah, dan juga orang yang aku cintai." Fadil menatap tasbih itu lama. Kemudian menatap Alice yang terdiam.

"Kamu kenapa, Alice?" Tanya Fadil. Ia menatap wanita di hadapannya ini yang tiba-tiba saja murung.

Alice tersenyum pedih. "Tidak apa-apa." Dirinya terkekeh pelan. Hatinya terasa di cabik-cabik mendengar jawaban Fadil. Ya, dia harus rela membuang perasaannya. Fadil sudah mempunyai orang spesial, dan Alice baru mengetahui nya sekarang. Ternyata bukan keyakinannya saja yang berbeda, namun perasaannya juga berbeda.

"Kau sudah mempunyai pacar?" Tanya Alice sekali lagi.

Fadil tertawa, kemudian menggeleng, "tidak, aku tidak mempunyai pacar, Karena hubungan itu sangat di larang di dalam agamaku. Tapi aku sudah mempunyai calon istri, Dan aku kesini berjuang untuknya."

Jedaar

Lagi-lagi hati Alice terasa di cabik-cabik mendengar jawaban Fadil. Ia berusaha menahan air matanya yang bentar lagi akan jatuh. Baru pertama ini ia merasakan patah hati yang luar biasa. Tapi masih banyak yang harus ia tanyakan pada Fadil, Sebelum ia benar-benar menyerah. Karena dari awal Alice selalu ada untuk Fadil, padahal Fadil tidak memintanya.

"Siapa nama perempuan itu?"

"Selfya. dia adalah adik kelas ku di pondok. Kau tau? Kisah cintaku ini sangat lucu. Aku langsung jatuh hati padanya pada saat awal kita bertemu. Dia sangat polos, cantik, memiliki sifat ke kanak-kanakan, menurutku dia sangat unik." Fadil terdiam sebentar, lalu tersenyum mengingat kejadian itu. Kemudian menatap Alice yang sedang menunduk. Fadil menatap Alice heran. Ada apa dengan Alice?

Alice mendongak, matanya sudah mengalir di kedua pipi tirus nya. Lalu berlari pergi meninggalkan Fadil yang sedang mematung. Ia terkejut melihat Alice yang menangis tiba-tiba. Apa dirinya salah bicara?

"Wey bro!!" Fadil menoleh ketika ada seseorang yang memanggilnya keras.
Diaz, pemuda itu menghampiri Fadil sambil ngos-ngosan.
Fadil menatap Diaz keheranan. Apakah temannya ini abis lari marathon? Pria berambut ikal itu berusaha mengatur napasnya.

"Kau kenapa?" Tanya Fadil.

"Gue kagak papa." Diaz mengusap peluh keringat di dahi nya. Ia membuka tas ransel lalu mengeluarkan sebuah buku kemudian memberikannya pada Fadil.

"Ini buku lo. Thanks udah ngasih gue minjem." Diaz menepuk bahu Fadil pelan.
Fadil mengangguk, lalu memasukkan buku itu kedalam tas.

"Eh bro, ngomong-ngomong, tadi gue liat si Alice nangis-nangis nyampe nabrak orang. Tuh anak kenapa?"  Tanya Diaz. Dahi Fadil berkerut. Jujur saja dirinya pun tidak tau apa penyebab Alice menangis.

"Ane gak tau. Tiba-tiba aja Alice nangis karena ane jelasin tentang tasbih ini."

Diaz nampak berpikir sejenak kemudian menepuk bahu Fadil satu kali, "Kek nya si Alice suka sama lo. Lo kan pernah bilang ke gue kalo tasbih itu bikin lo teringat sama Selfya itu kan? Nah si Alice patah hati dengernya." Mendengar jawaban Diaz, Fadil pun terkejut sekaligus merasa bersalah pada Alice. Ia tidak tau kalo Alice sudah memendam rasa pada dirinya. Dirinya harus apa?

****

Selfya menggerutu, ia menghentakkan kakinya kesal. Dirinya mencari sesuatu yang tak kunjung ia temui. Rani dan Marsha yang membantunya pun ikut lelah mencari.
Setelah sholat ashar tadi, Selfya menangis ketika tasbih pemberian Fadil ilang entah kemana. Sudah 30 menit mencari namun tidak ketemu.
Selfya memang ceroboh.

"Fya, mungkin ada di kolong kasur." Marsha sedikit berteriak. Ia mengacak ngacak lemari pakaian Selfya, mencoba mencari tasbih itu di sana. Namun tidak ada.

Mata Rani dan Selfya kompak melotot melihat kerudung-kerudung Selfya yang sudah berjatohan dari lemari ulah Marsha.

"Marsha!!!!!" Teriak Selfya. Kemudian menghampiri Marsha yang sedang nyengir lalu memungut  beberapa kerudung sahabat nya.

Rani menggelengkan kepalanya. "Kamu ini Sha, mana mungkin tasbih ada disana." Ia berdecak sekaligus gemas dengan sahabat yang satunya itu.

Marsha nyengir kuda, "namanya juga kan nyari." Marsha melipat khimar Selfya, lalu memasukkannya ke dalam lemari dengan rapi.

"Ya Allah, kok gak ketemu si." Rani mengeluh. Dirinya sudah capek mencari kesana-sini namun tak kunjung ia temui. Sedangkan Selfya matanya sudah berkaca-kaca. Bagaimana jika tasbih itu benar-benar hilang?

"Huaaaaaaaaaa!!!! Harus nyari kemana lagi hiks." Tangis Selfya pecah. Ia tertunduk di pojokkan kamar.
Marsha dan Rani menghampiri Selfya kemudian menenangkannya. Kemana lagi mereka harus mencari?
Selfya memang yang paling ceroboh diantara mereka. Sifatnya yang pelupa itu terkadang membuat mereka berdua gemas sekaligus kesel setengah mati.

"Kita coba cari lagi yuk, siapa tau tertinggal di mushola." Ucap Rani. Selfya mengusap air matanya. Mungkin benar, tasbih itu tertinggal disana.

Baru saja mereka ingin pergi ke mushola, Selfya dikejutkan dengan tasbih yang menggantung di knop pintu. Ia mengambil sambil terus mencium tasbih itu bertubi-tubi. Selfya sungguh lega.

"Kyaaaaaa, alhamdulillah ya Allah, akhirnya ketemu juga." Selfya menggenggam erat tasbih kesayangannya. Rani dan Marsha ikut lega. Marsha terkulai lemas. Sudah capek-capek mencari, ternyata tasbih Selfya dari tadi menggantung di knop pintu.

"Dasar pelupa!!!!"

***
Btw, si Alice bakal jadi pelakor gak yaa?? Hayooh😂

Maaf banget yaa baru up lagi hehe🙏 karena aku lagi ngurusin cerita collab aku hihi, tapi belum aku publikasi😅 nanti kalian jangan lupa baca ya cerita baru aku, dan nantikan kelanjutan cerita iniii😉😉😉

Cinta Di Pesantren (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang