(17) Pamit

960 174 4
                                    


Vote + Komen dulu sebelum membacaa!!!!!!!!!!

Selfya memeluk Al-Quran nya erat-erat. Kini giliran Selfya yang menyetor hafalannya. Dirinya menatap Marsha dan Rani yang sudah selesai menyetor hafalan mereka. Terlihat sekali ekspresi wajah sahabatnya yang sangat senang karena mendapatkan nilai yang sempurna.
Selfya berhadapan dengan Ustadzah Nurul, sang penguji.
Ia pun menarik napasnya panjang, kemudian memejamkan matanya.

Baru beberapa ayat Selfya lafalkan, tiba-tiba saja konsentrasinya terganggu. Mengapa dirinya jadi teringat sosok Fadil??? Selfya pun terus mengulanginya hafalannya, namun tetap saja dirinya tidak ingat ayat yang semalam ia hafalkan.

"Cukup, Fya. Hafalanmu sampai sini saja ya." Ustadzah Nurul memberikan buku penilaian berwarna biru muda kepada Selfya. Selfya menghela napas nya, "iya Ustadzah. Syukron." lepas itu Selfya bangkit dan menghampiri Marsha dan Ranu yang sedang muroja'ah di luar ruangan.
Ia berjalan sempoyongan, sambil membuka buku penilaianya. Dirinya membuang napasnya kasar, nilainya tak sebagus minggu lalu.
Selfya duduk disebelah Rani dengan lesu.
Rani dan Marsha saling beradu pandang.
"Kenapa? Biasanya kamu semangat kalo habis di tes." tanya Rani

"Nilaiku tak sebagus minggu lalu ... Aku tadi lupa ayat karena tiba-tiba saja aku kepikiran sama Kak Fadil." mata Selfya berkaca-kaca.
Rani dan Marsha menjadi paham mendengar jawaban Selfya.

"Yaudah, mending kita muroja'ah aja. Siapa tau kamu inget lagi." usul Rani
Selfya mengangguk antusias. Kemudian mereka bertiga memulai muroja'ahnya.

***

FADIL POV ON

Aku masih tidak menyangka bahwa perjuanganku ini tidak sia-sia. Aku tak bisa berhenti mengucap syukur kepada Allah. aku tak sabar ingin menyampaikan kabar baik ini kepada kedua sahabatku, sekaligus ingin mempersiapkan keberangkatanku hari ini. Aku sudah membayangankan betapa hebohnya kedua sahabatku itu, apalagi Umi dan juga Abi. Ah, rasanya aku sangat bahagia sekali.

Tak henti-hentinya aku mengukir senyum lebar kepada teman-temanku yang menyapa. mereka mempertanyakan soal keberangkatanku hari ini yang membuat heboh di penjuru Pesantren. Apakah Selfya tau kabar ini??? Apakah dirinya akan sanggup menungguku sampai wisuda nanti?? Bagaimana jika nanti Selfya tak sanggup jika menungguku? Aku sungguh dilema sekarang.

"Woy Dil, jadi bener ya kalo ente bakal berangkat kesana sekarang?" aku tersadar dari lamunanku ketika mendengar pertanyaan Umar, temanku. Kulihat ekspresi temanku itu seakan tak percaya dengan berita itu, aku pun memalumi karena sampai sekarang aku sendiri masih tak percaya akan semua ini, rasanya ini hanya mimpi.

Aku mengangguk, "Alhamdulillah, Mar."

Umar bersorak, "Masya Allah, Dil. Bagi ane tips dong, ane juga pingin kuliah diluar negri, terus dapet gelaran sarjana."

"Tips nya, ente rajin berikhtiar, belajar. insya Allah, kalo ente bersungguh-sungguh pasti ente bisa mewujudkannya." aku tersenyum. Kemudian pamit pada Umar menuju kamar, untuk mempersiapkan barang-barang yang harus ku bawa nanti.

Sesampai di kamar, aku di hebohkan oleh Miqdad yang sedang berdiri di depan pintu sambil membawa rebana dan memukulnya kencang.
"Huaaaaaaa, sahabat ane udah lulus duluan." teriak Miqdad, kemudian Miqdad dan Ali menghampiriku lalu memelukku erat.
Aku merasakan bahu Miqdad yang bergetar, ternyata dirinya menangis. Aku terkekeh, lalu bertanya. "Ente kenapa nangis, Dad?" ku lihat dirinya menggeleng.
"Gapapa, ane cuman pingin cepet-cepet kuliah kayak ente, biar ane bisa lamar Neng Rani secepatnya." aku dan Ali tertawa lepas setelah mendengar pengakuan Miqdad.
Dasar Miqdad.
Miqdad memang yang termuda diantara kami berdua. Sifatnya yang kekanakan membuat persahabatan ini semakin berwarna.

Cinta Di Pesantren (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang