Bagi Delin, Dekka adalah sosok kakak yang tingkahnya sulit diprediksi karena mereka tak satu frekuensi. Usai menjadi sarjana, Dekka justru memutuskan untuk tinggal di kampung halaman sendirian. Apesnya, Delin yang masih pengangguran dipaksa menyusul...
Aku tengah menelan salivaku lambat. Sepasang mata terpejam sejenak, hendak mendinginkan pandangan yang terasa panas. Sepasang tangan memangku di paha sambil diketuk-ketuk jemari pelan. Suara-suara bising sekitar mendadak melirihkan atmosfirnya. Napasku terlalu banyak diembus panjang meski waktu baru berjalan setengah hari. Tetesan air bening yang ditahan sejak tadi kini lolos membasahi pipi.
Tampak sedih sesaat setelah aku dipandangi oleh Bapakku yang dengan santai masih sanggup menyesap secangkir kopi. Berkali-kali aku menggigit bibir, tak percaya atas perintahnya. Menahan emosiku yang rasanya ingin membuncah sekarang juga. Masih merasa setengah hati untuk melakukan hal yang tak terbersit dalam pikiran sebelumnya.
Ah, bukan tak terbersit. Lebih tepatnya tidak akan pernah mau aku bayangkan.
Sudah benarkah Radelin Al Vira mengambil keputusan yang terpaksa disetujui ini?
"Delin gak papa pulang dulu. Di rumah kan ada Kak Dekka. Nanti Bapak tetep kasih kamu uang jajan, kok."
Mendengar kata "uang jajan", aku refleks membuka mata, "Lima juta seminggu? Sama kayak di sini?" harapku tinggi.
"Lihat nanti, ya. Mendingan sekarang kamu siap-siap dulu apa aja yang mau dibawa. Besok pagi Bapak antar kamu ke stasiun." titahnya membuat bibirku seketika memanyun.
Barusan kami berbincang-bincang alot di ruang tengah. Kami tinggal di sebuah rumah yang telah dihuni semasa aku hidup. Usiaku kini menginjak seperempat abad dikurangi dua, aku adalah putri bungsu dari dua bersaudara. Kakakku seorang laki-laki yang dulunya akrab karena sifatnya yang baik. Dulu ya tapi, bukan sekarang.
Namanya Dekka El Fariz, satu-satunya kakakku di keluarga kami yang kini.. bukan berpisah, sih. Tetapi tinggal secara terpisah.
Sebelum pindah ke sini, keluarga kami sudah lebih dulu mempunyai rumah pertama di sebuah kampung desa. Lokasinya tidak jauh dari rumah almarhum kakek dan nenek. Akibat tuntutan ekonomi yang semakin besar usai Bapak dan Ibu menikah, mereka memutuskan pergi merantau ke Ibukota yang dijuluki kota metropolitan. Kemudian lahirlah Kak Dekka dan aku, kami dibesarkan bersama di rumah kedua. Pastinya tinggal di sini sangat nyaman karena dilengkapi fasilitas hunian yang serba ada.
Beda sendiri, kakakku justru memilih menetap di rumah pertama. Ia berada di sana selama dua tahun usai bergelar sarjana peternakan. Tujuannya sederhana, agar rumah tersebut tak dibiarkan kosong tak berpenghuni. Mulanya bapak sempat tidak setuju, mengingat Kak Dekka masih punya banyak kesempatan untuk melakukan hal apapun selagi tinggal di Ibukota.
Namun yang terjadi di luar ekspektasi, Kak Dekka malah kabur pulang kampung sendirian. Ia hanya berpamitan melalui pesan singkat yang ditemukan di meja kamarnya. Sudah terlanjur berada di sana, Bapak akhirnya luluh mengizinkan.
Bapakku seorang konstruktor yang masih ditekuninya sampai hari ini. Beliau selalu sibuk dengan proyek-proyeknya yang tak jarang harus meninggalkan rumah selama berminggu-minggu. Ibuku juga demikian, seorang general manager di sebuah perusahaan FMCG yang menuntutnya sering bolak-balik ke luar negeri. Posisi Ibu sekarang sedang melakukan perjalanan dinas ke kantor pusat yang berada di London.
Hidup di rumah besar nan mewah, aku sering ditinggal mereka sendirian. Mencari peruntungan demi kelanjutan hidup keluarga kami selama tinggal di sini. Bisa dibilang pontang panting mereka bekerja selama puluhan tahun telah membuahkan hasil. Kebutuhan hidup kami sangat mencukupi sampai tahun-tahun kedepan.
Balik lagi pada Kak Dekka, jarak usia kami sebetulnya hanya terpaut dua tahun. Tetapi pola pikir kami sangat jauh berbeda juga bertolakbelakang. Aku yang lebih senang tinggal di kota sangat berbalik dengan dirinya yang merasa lebih sejahtera tinggal di desa.
Beberapa kali ada kesempatan mudik lebaran saat masih kecil, Kak Dekka senang membantu kakek dan nenek untuk mengurus beberapa ternak kambing dan sapi. Padahal saat itu kami berempat masih tinggal bersama di rumah kedua. Tak pernah sekali pun Bapak atau Ibu mengajarinya ngurus hewan ternak. Selain sudah ditinggalkan sejak lama, keduanya juga tidak lagi bekerja di bidang itu.
'Ya pantas ajalah kalo dulu Kak Dekka milih kuliah jurusan peternakan. Ada bakat alamiah yang kebentuk sejak dini, mungkin.'
Beberapa dari teman-teman kampus sempat menimpali curhatanku dengan kalimat serupa. Bahkan saat SMA, Kak Dekka pernah membangun kandang burung dara di halaman depan rumah. Yah.. memang sih itu salah satu dari hobinya. Tetapi berakhir bubar akibat dimarahi tetangganya. Lagian siapa suruh bikin kandang burung di lingkungan hunian komplek? Ada-ada aja.
Kemarin malam Bapak sibuk teleponan sama Kak Dekka. Setelah beberapa bulan lulus sarjana, aku belum kunjung bekerja—tahu sendiri kan cari kerja susahnya minta ampun. Tiba-tiba Bapak memintaku untuk pulang ke rumah pertama selagi belum punya pekerjaan pasti. Kak Dekka sedang butuh bantuanku untuk berada di sana. Kebetulan ia kerepotan mengurus usahanya yang sangat tidak familiar bagiku. Tahu aja kalau adiknya masih nganggur begini, serasa ada peluang bagus buat dimanfaatin sama dia.
Pikiranku skeptis. Aku merasa yakin kalo Kak Dekka akan menjadikanku budak tanpa dibayar. Tugas utamanya sudah pasti membantu mengurusi ternak-ternak selama berada di rumah pertama nanti. Ikut mencari pakan kambing, bersihin kandang ayam, mengurus bebek. Idih, ogah amat.
Dan bakat dari mana aku bisa mengurus semuanya? Bahkan untuk mendekati hewan aja aku gak berani. Aku termasuk orang yang penakut. Pernah disosor soang aja aku langsung lari terbirit-birit sampai jatuh ke selokan. Dikejar-kejar anjing pun aku memilih kabur dengan mengayuh sepeda cepat lalu berakhir diserempet motor.
Lagipula aku gengsi. Di saat nganggur begini, aku justru terpancing melihat teman-temanku yang setiap hari pamer di Instagram. Foto mereka lagi asyik jalan-jalan ke luar negeri, atau momen mereka lagi hectic menikmati kerja kantoran di Instagram. Sedangkan aku, malah berada di rumah buat ngikutin kemauannya Kak Dekka. Apa kata mereka nanti, kalau tiba-tiba mendengar kabar aku pulang kampung karena disuruh kakak ngurus usaha ternaknya?
Berbagai macam penolakan sudah aku lakukan melalui pesan WhatsApp Kak Dekka. Dan parahnya lagi di sana juga susah sinyal internet. Alhasil mis komunikasi makin terjadi setelah bapak terus mendesakku agar menuruti permintaan putra sulungnya itu. Jelas aku merasa terbebani. Padahal inginku tetap berada di sini sambil kirim lamaran kerja. Bisa juga aku bangun usaha online shop selama menunggu panggilan wawancara.
Namun tetap saja keras kepala yang ada di otak Kakakku itu belum melunak. Dia masih kekeuh dengan perintahnya. Setelah berdebat sana sini dengan bapak, didukung dengan pendapat ibu melalui panggilan video. Aku kalah telak sudah, tidak ada pilihan lain selain mengiyakan.
Sejujurnya, aku masih belum siap untuk ini semua... HELP ME!
--
Halo readers! Selamat datang di tulisanku yang baru. Hehe 👋🏻
Gak bisa dibilang baru, sih. Sebetulnya Unexpected Dekka adalah cerita fiksi yang sebelumnya pernah aku kembangin di Twitter (mungkin udah ada yang tahu juga). Yup, Unexpected Dekka di-publish as AU (Alternate Universe) pada tahun 2021.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku putuskan untuk lanjutin kisah Delin dan Dekka di Wattpad! Pastinya akan ada banyak perbedaan antara di Twitter dan di sini.