65. My Papa My Enemy

3.5K 576 120
                                    

"Mama ...."

"Bentar, ya, Sayang. Papa lagi rewel."

Bibir Viora turun, matanya mulai mengeluarkan genangan yang mungkin tidak disadari mamanya. Menabrakkan robot mobilnya ke mainan lain dengan kesal. Menatap penuh permusuhan papanya yang juga mencebik memeluk mamanya. Merengek seperti bayi besar tanpa malu ditonton putrinya.

Lihatlah, bagaimana tangan besar papanya melingkar di pinggang sang mama, dan pipi basah itu merebah manja di dada ibunya. Itu ... posisi langganannya. Viora cemburu!

Harusnya pagi ini, sesudah mandi dan menyantap sarapan Viora biasa bermain dengan mamanya dan Green di ruang keluarga. Padahal Viora sudah menyiapkan mainan kesukaannya di atas karpet depan TV, sambil menunggu Green yang sedang dimandikan Mama Ata.

Niat hati Viora ingin bermain dengan sang mama, juga dua adik kembarnya yang belum lahir. Tapi, papanya malah datang dan menghancurkan rencananya. Viora mendengus sebal, ingatkan dia kalau sudah tinggi untuk menjewer telinga sang ayah.

Ranaya sendiri, sudah dibuat pusing bahkan sejak matahari belum muncul sepenuhnya. Tak cukup dengan nyeri yang datang setiap pagi menyerang punggungnya, Araka malah semakin menambah derita. Ia temukan meringkuk seperti janin na'as di sudut kamar mandi sembari menangis tersedu-sedu.

Pagi ini bukannya sibuk dengan putrinya, Ranaya malah dibuat sibuk dengan suaminya yang menjelma seperti bayi besar. Dengan berat hati ia harus meminta pada Aretta untuk memandikan sekaligus menyiapkan sarapan Viora. Untungnya, anak itu tidak ikut rewel diempu Mama Ata-nya.

Belum genap 12 jam di hari ini, tapi Ranaya sudah kerepotan. Kesusahan menenangkan Araka yang tak mau berhenti menangis. Belum lagi, Viora juga tak mau kalah merebut perhatian sang mama. Sampai Ranaya memutuskan membawa mereka ke ruang keluarga setelah lelah menyaksikan mereka terus berseteru di kamar tadi. Memang di sini mereka saling diam, tapi tatapan sengit putrinya tak bisa Ranaya elak jika anak itu pasti menyimpan dendam.

Ranaya menyayangi keduanya, tentu saja. Namun, setiap hari ada saja yang diributkan demi mendapat kasih sayangnya. Entah Viora yang masih terlalu kecil dan masih ingin mendapat perhatian lebih dari sang ibu, atau Araka yang berusaha agar Ranaya menghabiskan lebih banyak waktu dengannya. Secara, setelah memiliki anak perhatian Ranaya jelas harus terbagi. Kecemburuan papanya ini yang kadang membuat Viora sebal. Bisa-bisanya ... sang papa menikung dirinya.

Ranaya jadi kasihan melihat putrinya yang harus bermain sendiri di atas permadani. Sementara dia duduk di atas sofa dengan tubuh sang suami yang merebah di sisinya. Menempel seperti ulat bulu. Memeluknya begitu erat. Masih menangis tergugu mengumandangkan kalimat-kalimat tidak jelas.

Aretta datang dari tangga sambil menggendong putranya, meletakkan Green yang sudah wangi di atas karpet. Anak itu memegang botol dot yang isinya tinggal setengah. Sang ibu menggabungkannya dengan Viora yang sejak tadi ia perhatikan mengulik-ngulik kesal mainannya.

"Aka kenapa, Nay?" tanyanya bingung, melihat adiknya lebih cengeng dari sang ponakan pagi ini.

"Nangis terus dari tadi subuh, Kak."

Aretta berdecak-decak. Duduk dengan hati-hati di atas karpet. "Gara-gara apa sampai nangis gitu?"

"Abis mimpi buruk, katanya tadi malem dikutuk Papa jadi onde-onde."

Aretta tertawa pelan. Menerima dua mangkuk berisi potongan nanas yang dibawakan salah satu ART, meletakkannya di depan Viora dan Green sebagai camilan menjelang siang.

Mereka tidak heran lagi melihat Araka yang tiba-tiba galau, ini bukan pertama kalinya pria itu mengadu bakat mewek di depan mereka —di samping sosoknya yang paling seram saat marah setelah Mr. Ken.

Araka masih belum berkenan melepaskan istrinya, walau tangisannya sudah berhenti menyisakan hidung merah yang berair. Ia justru semakin menyembunyikan wajahnya di ketiak sang istri. Membuat Ranaya mengusap rambutnya lebih lembut.

Dia masih ketakukan, terbayang olehnya hanya bisa berguling dengan tubuh penuh wijen di penggorengan dalam mimpinya karena berani melawan sang papa. Membuatnya terpaksa bangun dalam keadaan panik, mengguyur badannya dengan air dingin dan menangis sampai pagi hingga ditemukan Ranaya.

Jangan tanya apakah Ranaya sudah mencoba membujuknya kuliah atau belum, dia sudah mencoba berbagai cara. Tapi usahanya tidak ada yang berhasil. Terlihat jam sudah menunjuk angka sebelas, Araka sudah melewatkan satu kelas.

"V, gak boleh kayak gitu sama Papa." Ranaya merendahkan nada bicaranya. Memberi sedikit tatapan tajam pada Viora yang melempar boneka dinosaurusnya pada sang ayah.

Anak itu masih tidak terima. Dia bangkit meninggalkan nanas di mangkuknya yang sisa dua, menarik tangan papanya seperti menarik tali tarik tambang hingga Araka jatuh berguling di atas karpet. Kemudian, cepat-cepat ia naik menempatkan diri di pangkuan sang mama.

"Giyilan V!" katanya, posesif.

"Ih, itu istri Papa!"

"Mamanya V!"

"Istrinya Papa!

"Ngalah aja kenapa, sih, Ar. Lagian kamu juga udah dari tadi." Ranaya angkat bicara. Dengan nada lelah disertai harapan besar salah satu dari perebutnya mengakhiri perang ini. Membuat Araka mengurungkan niat membuka mulut lagi.

Araka mencebik, ingin bangkit namun Viora lebih dulu menunjukkan kepalan tangan mungilnya. Mengibarkan bendera permusuhan yang mutlak.

Araka mendengus pasrah. Menggeser tubuhnya sedikit jauh, tidur telentang di atas karpet dengan paha kakaknya sebagai bantal. Menghabiskan sisa buah di mangkuk putrinya. Memutuskan bermain bersama Green yang ia letakkan duduk di atas perut.

"Kamu gak kuliah hari ini?" Aretta bertanya pada sang adik. Merubah kebiasaan bahasa mengorbol mereka setelah para anak lahir di keluarga ini.

"Entar aja, masuk kelas ke-dua."

"Jangan kebanyakan bolos, semester muda bukan berarti bisa males-malesan. Awas IPK kamu turun nanti dimarahin Papa."

"Iya, iya." Araka beranjak duduk, meletakkan Green di pangkuan Aretta lagi.

Dia bangkit berniat mandi. Sebelum itu, menggoda putrinya dulu. Memberi 1000 kecupan cepat di pipi Viora sampai membuatnya menjerit risih.

"Papaaaa!"

"Kamu, tuh, kebiasaan!" Ranaya membantu melerai kejahilan sang suami. Ikut mendorong kepala Araka seperti yang putrinya lakukan. Berupaya menggagalkan Araka yang terus menyosor seperti soang. Tak gencar memberi banyak kecupan meski tangan-tangan mungil berusaha menghalau wajahnya.

"Huaaaa!"

"Ck, Ar! Udah sana kamu cepetan mandi!"

Araka tertawa puas. Menggelitik telinga Viora dengan telunjuknya sebelum ditepis sang istri. Membuat wajah anak itu makin memerah seperti tomat. Kemudian, pria itu pergi dengan tawa menyebalkan.

"Udah, udah." Ranaya mengusap punggung kecil putrinya. "Cup, cup ... Sayang ... cup. Malu, tuh, diliatin Adek."

Melihat Green menatap kakaknya dengan bingung, Viora membenamkan wajahnya di dada sang mama dengan malu.

Ranaya terkekeh seperti Aretta. Ramainya suasana rumah pastilah bersumber dari kejahilan Araka yang menggoda anak-anak sampai
histeris. Yang membuat Aretta atau Ranaya sendiri kadang ikut naik pitam.

"Ada dua aja rame, gimana nanti tambah tiga, ya, Nay," tutur Aretta dengan tawa yang tersisa.

Ranaya ikut tertawa kecil. Melihat jari Viora sedang menusuk-nusuk perut mamanya. Ingin menggelitiki adik-adiknya di dalam sana. Ranaya menangkap kedua tangan Viora, mengecup jari-jarinya yang mungil.

"Nanti sore enaknya kita beli apel karamel, yuk! Ajak Adek juga, V mau?"

Viora mengangguk, tangan kecilnya mengucek kedua matanya yang basah, kemudian kembali merebah di atas dada mamanya.

Ranaya menyambut hangat dekapan itu, menepuk-nepuk pelan pantat putrinya sambil bergerak kecil ke kanan-kiri seraya bersenandung, mengobrol bersama Aretta menghabiskan waktu di pagi itu.

MY STARGIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang