73. Sadnesses

686 156 5
                                        

Tak ada satu pun kepala yang berani mendongak, orang-orang yang datang dalam pemakaman itu serempak menundukkan kepala mereka dengan kesedihan yang tertera di wajah masing-masing. Turut berbela sungkawa atas duka kehilangan yang menimpa putri sulung Axellez, Aretta —yang duduk termangu di atas kursi rodanya. Hanya diam dengan tatapan kosong menatap pusara yang baru sempat dia kunjungi setelah satu minggu kematiannya.

Air matanya kembali menetes dari sudut mata, cepat-cepat dia menghapusnya sebelum orang lain mengira dia perempuan lemah yang telah kehilangan bayinya. Nyatanya, memang seperti itu.

Dia lemah.

Hati seorang ibu tersayat menerima kenyataan malaikat kecilnya pergi menemui Tuhan lebih dulu. Apalagi, dalam keadaan yang memaksa di saat Aretta tidak memiliki kesempatan untuk menolak. Ia bahkan belum sempat menggendongnya.

Dua hari lamanya dia dinyatakan koma, pasca mengalami kecelakaan yang membuat Tuhan mengambil sosok mungil yang dia tunggu selama 6 bulan. Membawa kekosongan yang mengisi relung seorang ibu. Aretta kembali merasakan kehilangan sedahsyat ini setelah kematian mamanya puluhan tahun yang lalu.

Belum sempat mereka merayakan kebahagiaan atas kelahiran anak kembar Ranaya, gelombang duka datang tanpa memberi komando, mengabarkan Aretta mengalami keguguran.

Pecahan rahim akibat benturan keras dari kecelakaan yang dia alami beberapa hari lalu, membuat para dokter terpaksa mengangkat rahimnya demi menyelamatkan nyawa sang pasien. Hal kedua yang membuat Aretta kehilangan cara untuk tersenyum selain kematian bayinya. Dia ... tidak akan bisa hamil lagi.

Tidak ada korban jiwa yang berarti dalam kecelakaan ini, para korban mengalami luka-luka namun sudah ditangani dengan baik dan dinyatakan selamat. Untuk sementara, Green harus diasuh Mama Naya-nya. Agar Aretta bisa lebih fokus mengembalikan fungsi-fungsi tubuhnya yang cacat akibat musibah hari lalu.

"Kita pulang sekarang, ya, Kak?"

***

Pintu besar rumah Axellez terbuka dan menampilkan Ranaya, wanita itu tersenyum lembut menyambut anggota keluarga yang baru datang usai menemani Aretta mengunjungi makam calon anaknya.

Ranaya melirik sang suami yang berdiri di samping sang mertua, pria itu mengangguk dengan senyuman kecil. Membuat istrinya mengerti harus melakukan apa.

"Kakak mau istirahat atau makan dulu?" Ranaya sedikit membungkuk, menyetarakan tingginya dengan Aretta yang duduk di kursi roda yang didorong Garda.

Perempuan itu hanya diam dengan tatapan kosong memandang ubin bercorak di depannya. Tak ada reaksi apa pun yang dia tunjukkan selain termenung. Sampai sang suami harus menyentuh bahunya, membuat Aretta terhenyak hingga atensinya kembali tertarik ke dunia nyata.

Ranaya tersenyum memaklumi, ia mencoba mengerti suasana hati kakak iparnya. Mengambil alih kursi roda dari tangan Garda. Berniat mendorongnya ke salah satu kamar yang telah ia siapkan.

"Untuk sementara, Kakak istirahat di kamar bawah aja, ya. Supaya gak capek bolak-balik naik tangga. Apalagi, kaki Kakak belum sembuh total."

"Apa perlu Papa buatkan lift?"

Semua orang menatap Mr. Ken penuh tanya, meragukan keputusan sang kepala keluarga yang nampak tidak main-main dengan ucapannya.

Mr. Ken ikut menatap masing-masing anak dan menantunya tak kalah bingung. "Papa serius," imbuhnya dengan mimik bersungguh-sungguh.

"Nggak perlu, Pa. Kalau Eta udah bisa jalan normal, kita pasti balik ke kamar yang sebelumnya, kok. Iya, 'kan, Sayang?" Garda menjawab mewakili istrinya.

MY STARGIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang