"Bangsat!" Araka mengumpat sekuat-kuatnya. Dia spontan terbangun dengan keadaan lantai basah kuyup. Ah, tidak hanya lantai, tapi juga dirinya. Siapa yang telah membangunkannya dengan seember air? Araka bersumpah akan memberi kematian pada orang yang berani melakukan itu. "Apa-ap—"
"Good morning. (Selamat pagi)."
Araka menyeka beberapa bulir air di wajahnya, kepalanya yang pening membuat pandangan Araka sedikit remang. Dia menggeleng cepat berusaha memfokuskan pengelihatan pada objek yang berdiri menjulang di depannya.
"Papa?"
"Don't call me like that, (Jangan panggil saya seperti itu) saya tidak pernah punya anak seorang pemabuk." Mr. Ken berkata dengan nada rendahnya, ia kemudian berbalik. "Terima kasih, Pak."
Menyerahkan kembali ember yang ia pinjam pada petugas kebersihan yang sedang membersihkan club ini, memberi sedikit tip padanya untuk membereskan lantai basah yang Araka tiduri. Ralat, yang Araka gunakan sebagai tempat tidur dadakan sebab pria itu pingsan karena mabuk sepanjang malam.
Araka berusaha bangun dari posisinya, secepat kilat dia berpegangan pada meja bartender saat kepalanya seakan diputar 180 derajat. Berapa gelas yang dia tenggak semalam sampai membuatnya setepar ini? Menatap papanya yang berwajah seram, Araka sangat yakin dia akan mendapat masalah baru. Araka juga tak ingat bagaimana kronologi dia bisa berakhir di tempat hiburan ini. Tak tahu langkah kakinya membawanya ke mana saja.
"Kenapa Papa bisa tau aku di sini?"
Mr. Ken menggerakkan dagunya dengan cuek. Araka ikuti arah tunjuk sang ayah pada sebuah papan nama yang terbuat dari lampu neon bertuliskan "Ranger's Bar" terpajang jelas di belakang meja bartender.
"Fuck. (Sial.)" Araka mengumpat sekali lagi, club ini milik Zico. Tidak perlu mencari tahu mengapa papanya bisa menemukannya dengan mudah. "Pa—"
Tanpa ba-bi-bu Mr. Ken mencengkram tengkuknya dan menyeret putranya keluar. Araka yang tidak siap dengan tenaga besar yang dikeluarkan sang ayah sempat terhuyung namun tak berakhir tersungkur. Dia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya sekuat mungkin, tak ingin para petugas kebersihan di sini menertawakan nasibnya.
Mr. Ken menghantamkan tubuh putranya ke kap mobil tanpa rasa kasihan. Araka merapatkan matanya ketika cahaya matahari menyerang korneanya dengan brutal, silau sekali, rupanya hari sudah pagi. Penderitaannya semakin lengkap dengan rasa nyeri yang mendiami punggungnya.
"Bisa kamu berhenti bersikap kekanakan kayak gini?" Mr. Ken memulai ucapannya. "Ini terakhir kali Papa cari kamu yang selalu kabur dari rumah, kalau di kemudian hari kamu masih seperti ini ... rumah itu akan selamanya tertutup buat kamu."
Araka berdecih. "Papa gak mungkin ngelakuin itu."
"Kenapa gak mungkin? Itu rumah Papa, harta Papa, terserah Papa. Cuma Papa yang berhak buat mutusin siapa yang akan tinggal atau pergi dari situ."
Araka mendorong pipi dalamnya dengan ujung lidah. Sang ayah sudah berani melempar ancaman rupanya. Baiklah. Araka menegakkan tubuhnya yang sedikit sempoyongan, menantang tinggi ayahnya yang hampir setara. "Papa belain siapa? Istri aku?"
Mr. Ken acuhkan seringai remeh itu.
"Papa cuma liat dari satu sisi doang, gak berminat liat ke sisi yang lain? Papa juga seorang ayah dan suami. Kenapa Papa gak nyoba nempatin diri di posisi aku?"
"Kamu salah."
"Of course i do! (Udah pasti!)" Araka tertawa kosong menerima ungkapan itu. "Kapan, sih, aku keliatan bener di mata kalian? Sekarang aku tau apa maksud Zico yang selalu ngatain aku anak manja yang cuma bisa berlindung di ketiak ayahnya. Bahkan setelah aku menikah aku gak bisa ngambil keputusan aku sendiri, dan Papa—"
![](https://img.wattpad.com/cover/255335409-288-k125551.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MY STARGIRL
RomantikRanaya kira, pernikahan itu sesuatu yang bisa ia jalani dengan modal nekat. Tapi, setelah Tuhan memberinya tiga buah hati yang manis, Ranaya berpikir prinsipnya mulai salah. Banyak lika-liku yang ia hadapi, sampai ia harus merelakan salah satu buah...