Seperti janjinya pada Viora pagi tadi, Ranaya akan membelikannya apel karamel di toko manisan yang menjual berbagai permen buatan rumah langganan keluarga mereka. Ikut serta mengajak Green tentunya. Mengingat apel hijau dengan saus karamel tebal yang membeku di atas permukaannya adalah salah satu makanan favoritnya.
Viora hampir siap, berdiri di atas kasur mamanya yang sibuk mengikat rambut ikalnya menjadi satu. Memasangkan bando berwarna merah polkadot yang senada dengan gaun mungil yang ia kenakan. Putrinya sudah sangat cantik untuk jalan-jalan.
Ranaya sendiri, tidak pernah memusingkan bagaimana penampilannya saat keluar rumah. Hanya memakai daster rumahan sebetis yang ditutupi cardigan dengan warna bertabrakan. Rambut berantakan yang dicepol asal dengan wajah murni tanpa make up apa pun.
Semenjak hamil si kembar, Ranaya memang jarang berhias atau sekedar merawat diri, ia lebih suka menghabiskan waktu mempercantik sang putri dan menekuni dapur. Untungnya, Araka juga tak pernah memprotes apa-apa, meski berat badan Ranaya nyaris naik 30 kilo sejak hamil ke-dua.
"Janji dulu sama Mama, V cuma boleh beli satu apel, dan langsung sikat gigi begitu sampai rumah. Oke?" Ranaya mengacungkan jari kelingkingnya.
Viora menautkan jarinya dengan wajah tertekan. Padahal dia ingin memakan seluruh apel karamel dan berbagai manisan yang tersedia di toko itu. Tapi, angan-angannya musnah diusir perintah mama cantiknya ini. Sebab setelah sang kakek, ucapan mamanya yang tak berani Viora bantah. Ia sudah pernah merasakan sosok lain ibunya saat ketahuan hujan-hujanan. Cukup ampuh membuat Viora kapok.
Ranaya tersenyum simpul mengusap kepala putrinya ketika menyadari wajah cemberut itu. "Nanti kalau V sakit gigi, emangnya mau dicabut kayak Papa kemarin?"
"Diabut?" Viora langsung mengangkat wajahnya. Ada raut panik yang terekam. Membuat kepalanya cepat-cepat menggeleng sambil memegangi kedua pipinya.
Ibunya terkekeh samar, mengangkat ketiak Viora dan menurunkannya dari kasur. Memintanya pergi ke bawah untuk melihat keadaan Green. Ranaya mengambil tas selempang lalu menyiapkan keperluan untuk anak. Seperti tisu basah, celemek makan, air putih untuk berjaga-jaga, dll.
Niatnya urung untuk menuntup pintu kamar, setelah dirasa ponselnya berdering dari dalam tas. Cepat-cepat Ranaya mengambilnya, rupanya telfon dari sang suami. Sejenak Ranaya mengernyit, rasanya Araka masih berada di kelasnya di jam seperti ini.
"Halo?"
"Kamu di rumah, Babe?"
"Iya, tapi kita mau keluar. Tadi pagi aku janji beliin V apel karamel di tokonya Pak Emil, sekalian ngajak Green juga. Kenapa emangnya?"
Araka diam sebentar, jika tebakan istrinya benar, dia pasti sedang menggaruk kepalanya di sebrang sana. "Makalah aku ketinggalan, jadinya presentasi aku harus dimundurin, diganti sama mahasiswa lain."
"Terus?"
"Bisa ... kamu anterin makalah aku sekarang, Babe?" pinta Araka sedikit tak nyaman, takut merepotkan istrinya. Tapi, satu sisi dia juga tidak bisa pulang, saat ini saja dia harus bergeser keluar kelas demi menelfon Ranaya untuk meminta bantuannya. "Kamu keberatan, ya? Aku minta tolong sama supir aja—"
"Biar aku aja yang nganterin. Tapi, aku cari dulu, ya. Judulnya apa?"
Ranaya kembali masuk ke kamar, langsung menuju ke meja belajar sang suami. Banyak makalah-makalah dengan background berbagai warna yang tersedia di salah satu tumpukan, menemani beberapa buku tebal penunjang yang Araka beli nyaris setiap minggu.
"Beneran gak pa-pa?"
"Iya, Ar, gak pa-pa," jawab Ranaya dengan tenangnya. "Aku sekalian mau keluar, kok. Lagipula toko Pak Emil sama kampus kamu cuma beda perempatan doang. Jadi, apa tadi judulnya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MY STARGIRL
RomanceRanaya kira, pernikahan itu sesuatu yang bisa ia jalani dengan modal nekat. Tapi, setelah Tuhan memberinya tiga buah hati yang manis, Ranaya berpikir prinsipnya mulai salah. Banyak lika-liku yang ia hadapi, sampai ia harus merelakan salah satu buah...