Sambil merapatkan bibir memejamkan mata, Ranaya meringis menahan perih akibat luka di lengannya. Ia sampai harus bersembunyi di kamar mandi, agar tak seorang pun mendengar rintihan yang ia keluarkan.
Ranaya mengambil lagi krim salep dari botol pasta yang tergeletak di wastafel, mengoleskannya perlahan di luka cakaran yang ada di lengannya. Karena posisi luka yang lumayan sulit dijangkau mata, Ranaya memanfaatkan pantulan cermin untuk membantunya mengoleskan obat itu.
Lagi-lagi dia harus menggigit bibirnya guna mengurangi rintihan yang keluar. Tak tahan lapisan kulitnya yang terbuka bersentuhan dengan krim dingin itu, rasanya seperti terbakar.
"Babe!"
"Eh, i-iya?!" sahut Ranaya antara spontan dan kaget, mendengar panggilan sang suami yang sepertinya baru datang setelah keluyuran sejak pagi. Cepat-cepat dia merapikan bungkus salep itu, menyimpannya di laci khusus berisi stok sabun dan alat mandi lainnya.
Ranaya ingin membuka pintu, tapi dia ragu. Takut Araka bertanya soal luka yang ia dapat siang tadi. Ranaya meniup lukanya agar salep yang dioleskan cepat mengering, mengambil jaket berbahan tipis yang ada di belakang pintu, memakainya sembari menahan denyutan yang semakin menerjang.
"Babe?!"
"Iya, Ar, bentar!"
Wanita itu merapikan lengan jaketnya. Membuka pintu kamar mandi dengan terburu-buru, berlagak seolah telah menyelesaikan panggilan alam.
Dilihatnya Araka, sedang mengotak-atik laptopnya. Duduk di pinggir kasur dengan laptop tipis di pangkuannya, dalam adegan itu ... ada sisa-sisa kepanikan yang terekam di wajahnya yang berkeringat.
"Babe, tolong ambilin kartu identitas kamu." Araka meminta sambil menjulurkan tangannya, tanpa memalingkan wajah dari monitor.
Tanpa curiga Ranaya mengambil dompetnya dari dalam laci, menarik kartu identitas dari slotnya, lalu menyerahkannya pada Araka. "Ar, ini buat apa?"
Araka menoleh sebentar. "Aku mau pesen tiket pesawat."
"Tiket? Kamu mau ke mana malem-malem gini?"
"Bukan aku, tapi kita ... kita semua."
Ranaya semakin dibuat tak mengerti.
Araka meninggalkan laptopnya yang dibiarkan terbuka, terdapat jejak transaksi tiket pesawat online yang baru dia lakukan. Ia mengambil koper besar dari atas lemari, memasukan baju-bajunya secara acak ke dalam sana. Tak hanya itu, ia juga membuka lemari Ranaya dan memasukkan beberapa potong baju istrinya.
Ranaya yang merasa Araka sudah semakin membingungkan segera menghentikan aksinya. "Ar, jawab! Kita mau ke mana?!"
Araka hanya bergeming, bahkan tak ingin sama sekali menoleh. Merapikan isi dalam koper dan menutup resletingnya dengan asal, ia menarik koper besar itu keluar kamar begitu saja.
"Ar!"
Ranaya merasa deja vu, melihat Araka yang tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apa pun seperti ini —pasti akan terjadi pertengkaran besar di antara mereka. Lantas ia mengikuti Araka yang berjalan tergesa-gesa keluar rumah. Masih berharap Araka mau menjawab kebingungannya. Ranaya benar-benar tak tahu apa yang sedang terjadi, Araka sama sekali tak berminat menjelaskan alasannya.
"Ar, tunggu!"
Lebih membingungkan lagi, ada mobil Zico yang terparkir di luar. Lengkap dengan si empunya yang menunggu di dalam mobil. Araka memasukkan kopernya ke bagasi, tak peduli Ranaya yang sejak tadi mengejarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MY STARGIRL
RomanceRanaya kira, pernikahan itu sesuatu yang bisa ia jalani dengan modal nekat. Tapi, setelah Tuhan memberinya tiga buah hati yang manis, Ranaya berpikir prinsipnya mulai salah. Banyak lika-liku yang ia hadapi, sampai ia harus merelakan salah satu buah...