92. Care or Care?

843 124 203
                                        

"Ayo bisa, yok! Pa ... Pa."

"Mam Mam."

"Kok, Mama? Dibuka mulutnya agak dibuka, Pa ... Pa."

"Hihihi ...." Arshaa cekikikan melihat wajah kesal ayahnya yang terpampang di layar kaca, tidak sadar Araka sudah mulai emosi. "Mam ... Ma."

"Kok, Mama lagi, sih, Aca?"

Ini sudah ke sekian kalinya Araka mengajari putrinya mengucapkan kata "papa". Dari semenjak kakaknya merendahkan diri untuk menelfonnya duluan guna meminta maaf beberapa hari lalu, setelah menghubungi Mr. Ken secara pribadi. Dari sejauh ini, usaha Araka belum membuahkan hasil.

Arshaa ternyata lebih ekspresif ketimbang adik kembarnya, lebih banyak mengoceh dan lebih mudah menangis. Archie? Bayi super kalem itu nampaknya mewarisi gen sang kakek. Araka juga sering mengajarinya mengucapkan kata "papa", ya walaupun belum sepenuhnya bisa Archie lakukan, justru anak itu memanggilnya "a'a" tiap kali Araka menghampiri. Setidaknya, Archie sudah tahu ayahnya yang mana.

"Kak, ajarin Arshaa ngomong 'papa', dong. Mama-mama mulu," protes Araka pada Aretta, yang memangku Arshaa sembari memegangi ponselnya.

"Sabar, dong, namanya juga lagi belajar. Arshaa bisa bilang 'mama' aja masih baru-baru ini."

Wajah Araka tampak masam, padahal dia ingin menjadi kata pertama untuk putrinya.

"Selain 'mama', dia juga bisa ngomong yang lain, tau. Coba liat, nih. Mama Ata, bilang Mama Ata gimana kemarin?"

"Tat ... Ta."

"Tuh, bisa, 'kan?"

Araka makin meringis saja. Araka mengajarinya mengucapkan kata "papa" lagi, tapi Arshaa justru mengganti hurufnya menjadi "yaya". Yang dipositifkan menjadi Ranaya. Aretta tertawa, dia ikut membimbing Arshaa mengucapkan kata "papa", tapi anak itu justru menebalkan huruf M dalam mulutnya menjadi kata "mama".

"Aku, nyerah, deh. Aca gak sayang Papa, ya?" Araka ditertawakan putrinya lagi, Arshaa kecil ternyata lebih menyebalkan dari Viora. Araka dibuat antara kesal dan gemas, tapi melihat senyum lepas putrinya pada akhirnya dia tidak bisa marah lebih lama. "Ucuk, ucuk, ucuk," lagaknya sembari menggelitiki layar ponsel itu seolah pipi Arshaa.

"Kamu mau berangkat ke kampus?"

Araka mengangguk, duduk di pinggir kasur dengan baju yang sudah rapi. "Nunggu Bebeb nyiapin bekal dulu, hari ini Bebeb nyambel."

"Ya udah. Telfonnya Kakak tutup duluan, ya. Mau mandiin Arshaa juga, keburu siang. Nanti sore Kakak telfon lagi kalau nggak sibuk. Arshaa dadah dulu sama Papa, Sayang."

Bukannya melambaikan tangan, Arshaa justru ingin berdiri, ia dibantu Aretta yang memegangi ketiaknya, berpijak di atas paha sang bibi. Anak itu menggerakan seluruh badannya seakan menari dengan riang, menjerit-jerit senang dengan tangan yang seolah berusaha menggapai wajah sang ayah.

"Udah gak sabar pengen bisa jalan itu. Aca di sana latihan jalan yang bener, ya, Nak. Biar bisa terbang sendiri ke Indo, nanti Papa jemput di bandara. Abis itu nyampe rumah balapan sama Adek Aci, yang menang Papa kasih kiss."

"Emang udah harusnya diajarin merangkak. Kalau ditaruh di kasur, tuh, beuh ... Aham sampai pusing liat Arshaa yang pengennya gerak ke mana-mana. Kalau duduk udah songong dia, gak mau dibantuin lagi."

"Anak aku emang semuanya harus sombong, biar gak gampang dijatuhin orang."

"Aka ...."

"Itu namanya nasehat tau, Kak." Araka tetap kekeuh pada petuah konyolnya.

MY STARGIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang