Seharusnya aku merasa gugup sekarang, tapi bibirku malah terkatup menahan tawa saat melihat ekspresi Tjandara yang terguncang saat ini. Kalau kugambarkan, dia mirip anak kecil yang ditinggal main rahasia-rahasiaan oleh dua temannya. Di sisi lain, sepupu Nata yang bernama Yanesha tengah asik menyeruput es teh manis sembari memain-mainkan es batunya, dan Nata, si pemeran utama, malah sibuk men-draw hero SSR yang gift-nya dia dapat di event hari ini.
Satu-satunya yang menggangguku saat ini adalah, kenapa kita harus duduk di jongko tukang bakso sekarang? Duduk saling berhdapan antara aku, Nata dan dua orang ini, tanpa memesan bakso, hanya es teh manis dan es jeruk yang dipesan olehku dan sepupu Nata. Bukan apa, sebenarnya Mang Bakso samping jalan ini baru buka beberapa menit yang lalu, dan masih membenarkan tenda jualan. Karena Tjandra yang tidak sabaran, akhirnya si Mang berbaik hati, mungkin dengan harapan kita bisa membeli baksonya sebagai penglaris nanti.
"Jadi, dari kapan kalian pacaran?" Tjandra mulai membuka suara. Sedikit menyebalkan karena dia mencoba memiripkan nada suaranya dengan para detektif di drama Korea.
Aku menoleh ke arah Nata, "Beberapa bulan yang lalu, ya kan?"
Nata mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Kenapa gak cerita sama urang?"
Tjandra menaikkan satu oktaf suaranya.
"Emang harus?"
"Enggak, sih. Tapi urang sebagai sumber segala info merasa tersinggung."
Aku mendecih, lalu menyeruput es jerukku.
"Tapi bukan itu, sih. Maksud urang, enggak, maksud saya, Nata, kenapa harus si Rumi? Nih ya, saya kasih tau, dia mah cewek paling random se-Bandung Raya. Sekarang dia bisa mirip Puteri Belle, sejam kemudian bisa jadi sodara tirinya Bawang Putih, sejam lagi jadi pacarnya si Boboho, sejam lagi jadi apa, pokoknya jadi-jadian." Papar Tjandra penuh semangat, mirip pembaca UUD di upacara bendera.
Dengan cepat, kutarik lengan jaketnya.
"Chan, aku juga gak akan baik-baikin kamu di depan Fikana. Mau aku spill gak top secret-nya kamu ke dia?" Bisikku.
Tjandra menarik lengan jaketnya dariku. Dia berdeham sembari cengengesan.
"Tapi meskipun gitu juga, dia baik, kok. Udah mah geulis, sopan, béréhan, ah pokona mah bageur lah."
Pujian ini malah terdengar memaksakan sekarang. Hhh dasar.
Tjandra meraih es jerukku, lalu menyeruputnya tanpa permisi.
"Mau beli yang baru gak, Chan?" Tanya Nata sembari menunjuk es jerukku yang sekarang dipegang Tjandra.
"Hah? Oh, boleh pisan, mending beli es teh manis. Tuh, peka banget si Nata mah. Gak kayak si Rumi, nawarin juga enggak."
Tjandra beranjak, memesan es teh manis. Setelahnya Nata menggeserkan es jeruk ke depanku kembali.
Aku tersenyum tipis. Sepertinya saudara Tjandra salah kaprah, dia masih seribu tahun lebih awal untuk mengerti Nata.
Tapi senyumku seketika luntur saat mataku menangkap Yanesha yang tengah memandangku dan Nata bergantian, dan tanpa melepaskan sedotan dari bibirnya.
"A Wira, beneran pacaran?" Tanya dia bersamaan dengan kedatangan Tjandra.
"Hah? Emang settingan?" Tjandra ikut nimbrung.
Ini anak Wa Soeman bibirnya hasil tuker tambah apa gimana, sih?