"Di mana?"
"Rum."
"Woy!"
"Heh!"
Berisik.
Pop up pesan dari Tjandra masih bermunculan di layar ponselku, dan sengaja tidak kubalas. Tidak. Aku hanya tidak ingin diganggu.
Alasan lainnya, aku sedang dalam pelarian. Ya, mungkin terlalu berlebihan, tapi kenyatannya aku memang sedang melarikan diri dari rumah, lebih spesifiknya, dari acara keluarga yang sekarang tengah berlangsung.
Pada kenyataannya aku merasa bersalah pada Tjandra, karena sebenarnya acara keluarga itu tidak lain adalah acara syukuran sehabis sidang kelulusan, yang isinya hanya acara makan-makan dan kumpul bersama. Sebelumnya, acara berlangsung ramai seperti biasa, tapi semuanya berubah saat Nenek-ku mulai menyinggung persoalan yang itu itu lagi di depan semua keluarga. Luar biasa memang Nenek-ku ini. Saat aku mulai menyusun rencana untuk rekonsiliasi dengannya, tapi di waktu yang bersamaan beliau malah melanjutkan kembali agenda 'Perang Dingin' yang tidak berkesudahan di antara kita.
Dengan suasana hati yang kadung muak, aku pergi begitu saja tanpa berpamitan dan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Karena sebelumnya Ibu belum hadir, sedikitnya aku merasa tidak peduli dengan siapapun, kecuali kepada Tjandra yang hampir mengejarku sampai pagar rumahnya. Tapi tetap saja, impulsku terkadang sulit dikendalikan, walaupun setelahnya aku tetap merasa bersalah.
Kakiku berjalan tanpa arah, menyusuri jalan kecil yang tidak kuperhatikan sama sekali. Satu-satunya yang menyadarkanku adalah suara kereta api yang melaju, sampai akhirnya aku termenung di pertigaan Jalan Tera dan Jalan Merdeka.
Pergi tanpa uang sepeserpun, berjalan dengan sandal jepit, sampai perut yang sedikit keroncongan, rasanya aku sedang ditarik kembali ke hari saat aku mengejar Nata ke stasiun dulu.
🍂
Aku menyeberang dari Taman Vanda menuju Taman Balai Kota yang teduh dan tidak begitu ramai pengunjung seperti biasanya. Mungkin karena bukan akhir pekan.
Air mancur, beberapa lansia yang tengah berjalan-jalan sore, rupanya cukup menjadi pemandangan minimalis yang harmonis. Mataku terpejam dan terbuka dengan lambat saat menatap guyuran air di depanku. Biasanya aku akan sangat rileks saat berdiam diri di tengah-tengah pepohonan tinggi dan suasana sepi seperti ini, tapi saat ini rasanya berbeda. Melelahkan.
Ponselku bergetar kembali.
Tjandra.
Kuletakkan ponsel di samping telingaku.
"Halo? Rum? Anjir manéh di mana?"
Aku masih membisu.
"Gak akan urang susul, kalem. Urang cuma takut tiba-tiba entar aya berita cewek loncat ka Sungai Cikapundung."
Sialan.
"Di Balkot."
"Manéh lagi ngapain di dinya? Demo?"
"Dagang cuanki. Nya mikir lah, Chan."
"Moal ngapa-ngapain, kan? Gak akan lompat ka Cikapayang?"
"Aku masih pengen warisan Bapak, Chan."
Kudengar tawa Tjandra di seberang sana.
"Oke deh."
"Chan."
"Naon?"
"Maaf malah jadi ribut."