“Di bukit indah berbunga, kau mengajak aku ke sana memandang alam sekitarnya, karena senja telah tiba..,”
Aku ikut bersenandung saat lagu Bukit Berbunga dari Uci Bing Slamet mulai terputar dari radio.
Menikmati sore hari di dapur, dengan lagu lawas dan sulaman strimin yang belum kuselesaikan menjadi sore hari paling langka dalam beberapa waktu ini.
Ibu juga sudah kembali sebelum pukul empat, dan sedang sibuk memasak.
Perlahan aroma rempah dan daun pisang menyeruak dari pepes ikan yang sedang Ibu kukus.
“Rum, anterin pepes ini ke Enin, ya.”
🍂
Sambil menenteng piring, aku berjalan ke rumah paling ujung di komplek ini. Rasanya sudah berminggu-minggu tidak mengunjungi Nenek-ku.
Rumah paling rimbun, dengan segala macam tumbuhan hias menghiasi rumah bergaya Landhuise yang menjadi rumah keduaku semasa kecil dulu.
Saat kubuka pintu pagar, suara aus dari besi tua terdengar begitu saja. Jalan setapak dari batu yang dihiasi bunga yang dulu kusebut ‘bunga kuku-kuku-an’ tidak pernah berubah bahkan dari sejak dulu.
Aku mengetuk pintu. Karena tidak ada sahutan, aku masuk begitu saja saat kutahu pintu depan ini tidak terkunci.
“Nin?”
Aku mendengar suara dari arah dapur.
“Rumi?”
“Muhun. Ini ada pepes dari Ibu.”
Aku masih berdiri, memandang beberapa bingkai foto yang menggantung di dinding. Foto pertama yang selalu kupandangi setiap memasuki rumah ini adalah potret mendiang Kakek-ku yang tengah tersenyum berdiri di Jalan Braga dengan rambut Beatles-nya. Di samping foto itu ada foto pernikahan Kakek dan Nenek-ku, yang berwarna sepia dan sederhana. Juga, foto paling ujung adalah potret para cucu, dari yang paling tua sampai yang paling muda. Saat itu aku yang paling muda, bersama dengan Tjandra yang berambut ikal dan sedang terlihat merengut di foto ini.
“Ini téh ikan yang dapet dari Mang Uloh téa, kan?”
Suara Enin menyadarkanku dari kenangan masa lalu di hadapanku ini.
Aku mengangguk.
“Eh, Rum, ambil biji kembang kenikir di depan.”
Akhirnya kita beralih ke halaman. Aku berdiri di depan bunga wijaya kusuma yang saat ini bunganya belum mekar. Untuk sejenak aku teringat percakapanku dan Nata tentang bunga ini saat di Lembang dulu. Tanpa sadar aku tersenyum.
“Kenapa kamu téh nolak tawaran kerja dari Bu Usi?” Aku menoleh dan mendapati Enin sedang memetik bunga-bunga yang sudah kering.
“Enggak tertarik, Nin.” Jawabku singkat.
Kudengar Enin menghela nafas kasar.
“Kerja mah jangan pilih-pilih. Tuh kan saur Enin gé jangan ngambil jurusan éta. Kamu emang mau jadi apa? Malah gak ada tolak ukurnya.”
Aku menghela nafas jengah.
Mataku tetap menatap batang bunga di depanku. Bunga wijaya kusuma ini tidak terlihat seperti tumbuhan bunga saat dia tidak berbunga.
Meski begitu aku menyadari bahkan tanpa sisi yang terlihat cantik-pun mereka tetap bunga. Segala sesuatu akan terlihat cantik dengan caranya sendiri, meski saat orang lain tidak menganggapnya demikian.
Manusia juga tetap manusia, bahkan saat mereka tidak memiliki apapun, atau berbeda sekalipun.
Kuhirup udara dalam-dalam. Aku selalu suka rumah ini. Pekarangannya yang indah, dengan bunga-bunga dan pohon yang rindang. Hanya satu yang membuatku selalu enggan kembali.