"...The country is broken, though hills and rivers remain,
In the city in spring, grass and trees are thick.
Moved by the moment, a flower's splashed with tears,
Mourning parting, a bird startles the heart."-Spring View, Du Fu
Ini mungkin suka, atau duka. Awal atau akhir. Manis atau pahit. Keseimbangan. Hidup. Ambiguitas.
🍂
"NAJIS!”
Refleks kulempar helm yang penuh dengan sticker itu kearah laki-laki yang kini tengah menendang ban motor secara brutal.
“Berisik Chan, udah ganti ban aja, jangan ditambal terus.”
Ya, aku sedang bersama Tjandra. Satu bulan lagi, Teh Jena—kakak perempuan Tjandra akan menikah, imbasnya, kita pasti dijadikan pesuruh. Seperti sekarang, kita sibuk ngurus cenderamata. Tidak jauh sih, kita muter-muter di daerah Cibadak, tapi lumayan capek juga kalau harus jalan.
Dan sekarang kita tengah membisu di kursi kayu depan bengkel, memandang jalanan yang hampir dipadati kendaraan.
“Beli es lah, Rum.”
“Males.”
“Urang yang beli deh,” Tjandra berdiri di depanku, lalu mengulurkan telapak tangannya.
“Apaan?”
“Sini duit nya.”
Ya begini lah saudaraku.
Setelah 30 menit bergabut ria di bengkel, akhirnya kita kembali ke toko. Masalah cenderamata sudah selsai, dan sekarang sepertinya akan timbul masalah baru.
“Rum, kamu mending ke Enci Lin deh,” Ibu mencolek pundakku.
Tuh kan. Apalagi nih?
“Ada apa emang?”
“Ngukur kain dulu buat kebaya nanti.”
“Yang penting lebih kecil dari Ibu,” tanggapku malas.
“Gak bisa gitu, nanti kalau gak sesuai malah ribet lagi. Yang lain udah, tinggal kamu doang.”
Walau ogah-ogahan, akhirnya aku berdiri di depan toko Widjaya juga. Mataku mencari sosok wanita paruh baya cantik bermata sipit, tapi yang kulihat hanya beberapa lelaki tengah menggotong gulungan kain.
Aku mendatangi salah satu karyawan lainnya yang tengah mengecek beberapa tumpukan kain.
“A, Enci Lin ada?”
Karyawan laki-laki yang aku tahu bernama Yanu tadi menatapku, “Ada di dalam, Teh. Masuk aja.”
Beberapa karyawan Widjaya sepertinya memang sudah hafal mukaku, padahal tidak sering juga aku bertandang ke toko ini.
Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa menginjakkan kakiku di bangunan antik ini. Semuanya masih tampak sama. Ya iya lah ya, dalam waktu dua bulan apanya yang akan berubah?
Aku berdiri di belakang guci tinggi, sama seperti yang aku lakukan saat pertama memasuki ruangan ini. Sedikit mencondongkan badan, kutengok area ruang keluarga yang sekarang tampak kosong.