Rintikan yang tampak malu-malu itu dapat kulihat dari jendela bangunan berumur hampir seratus tahun yang tengah kita sambangi di Jalan Braga. Siapa sangka ternyata Nata membawaku ke gedung Majestic, salah satu tempat historis di Bandung—juga saksi bisu lahirnya pagelaran perfilman paling tersohor di Parijs van Java pada masanya.
Ah, melihat gerimis jadi mengingatkanku dengan lagu Mang Koko Koswara; girimis kasorenakeun ngeunteungan séwu katineung katumbiri layung langit—walaupun liriknya mengisyaratkan kesedihan, nyatanya tidak menampik harmonisasi indah yang tidak biasa dari aroma bangunan tua dan tembang lawas Sunda yang mengalun begitu saja di pikiranku.
Pada akhirnya aku tidak berkontribusi banyak untuk Nata, sesekali hanya menjelaskan beberapa kata yang sulit dia mengerti. Ternyata tokoh yang dia temui termasuk kalangan sepuh berdarah Sunda yang terkadang menyelipkan Bahasa Sunda dalam obrolannya. Tapi yang membuatku terkejut adalah fakta bahwa Nata banyak mengetahui perihal teater dan pagelaran. Bahkan dia tengah bekerjasama dengan beberapa kalangan untuk project pertunjukan minggu depan.
"Nih."
Segelas teh yang masih mengepul terulur di depanku. Tanpa pikir panjang kuterima, lalu menyesapnya pelan.
"Makasih."
Nata mengangguk, menggeser kursi lalu duduk di sampingku. Matanya beralih ke arloji di pergelangan tangannya. Arloji yang kerap dia pakai, bertali hitam dengan kepala jam berwarna biru safir. Jika dilihat sedekat ini warnanya kontras dengan warna kulit Nata yang putih sedikit pucat.
"Udah jam lima. Tapi di luar masih gerimis. Diam dulu di sini gak apa-apa?"
"Santai aja, lagian kapan lagi bisa masuk ke sini sambil nge-teh cantik? Dulu waktu zaman Belanda, pribumi sama anjing dilarang masuk ke sini."
Nata menatapku cepat, "Masa, sih?"
Aku mengangguk.
"Emang gedung ini dibangun tahun berapa?"
"1925."
"Arsiteknya?"
"Wolff Schoemaker."
"Pantesan." Nata mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pantesan?"
"Namanya gak asing. Saya pernah baca tentang arsitek itu. Yang merancang Observatorium Bosscha juga, kan?"
Aku terkejut Nata tahu perihal itu, "Kok tau?"
"Kan baca."
"Oh, ralat. Maksudnya, aku gak nyangka aja kamu baca tentang sejarah Bandung." Jelasku.
"Saya emang gak terlalu suka tinggal di sini, tapi saya gak terlalu pemilih kalau soal bacaan."
"Mirip sama, China dan Jepang memang punya sejarah yang kurang baik, tapi salah satu buku favorit saya The Chrysanthemum and the Sword." Sambungnya sambil memutar-mutar gelas pelastik kosong bekas teh tadi.
"Chrysanthemum—ini buku yang judul Indonesianya Pedang Samurai dan Bunga Seruni itu bukan, sih? Tapi aku gak tau isinya tentang apa, belum sempat baca."
Nata mengangguk, "Singkatnya, menceritakan tentang budaya orang-orang Jepang."
"Kamu punya? Aku mau pinjam." Aku beringsut mendekat.
"Ada, mau versi yang mana? Mau yang Bahasa China?" Nata menoleh dengan wajah datarnya.
"Yakali, Bahasa Mandarin yang aku tau cuma wo ai ni doang—ah, sama meili."
Nata malah tertawa jenaka sembari memainkan tali arlojinya. Oke, jahil yang tipikal Wiranata sekali.
"Nata."