Saya suka kamu.
Rasanya sel-sel di otakku berhenti berfungsi. Maksudku, semua orang pasti pernah merasakan berada di posisi ingin merespon, tapi entah respon apa yang mesti ditampakkan. Iya, aku sedang berada di keadaan seperti itu.
“Nata.”
Nata menatapku tanpa berucap apapun. Masih dengan wajah yang bersandar di kedua lututnya.
“Aku harus merespon kayak gimana?” tambahku.
Semilir angin menerpa helaian rambutnya. Aku harus bersusah payah menekan pita suaraku untuk tidak berkata ‘tampan’ saat sinar matahari sore menerpa bola matanya yang kecokelatan.
Hhh, tidak adil. Kenapa hanya Nata yang harus terlihat bening bersinar sekarang, sedangkan aku harus kucel kuleuheu penuh debu?
Kulihat Nata menghela nafas pelan, lalu memalingkan pandangannya dariku.
“Maaf.” Ucapnya.
“Yang tadi itu spontanitas.” Lanjutnya kemudian.
Spontanitas?
Sontak dahiku mengernyit bingung.
“Maksudnya?”
Nata menerawang jauh. Matanya menyipit seperti tengah memikirkan sesuatu.
“Tadi, kamu.. ibarat bunga peony merah muda yang mekar di rerumputan.”
Hah?
Lagi, Nata dengan analoginya yang tidak sampai ke nalarku.
“Hah? Aku mirip bunga sebelah mana nya?”
Dia menatapku datar.
“Maksudnya, karena kamu.. begitu, jadi hampir tidak mungkin saya untuk tidak bilang saya..,”
Aku memperhatikan Nata dengan seksama. Tapi dia malah menjeda ucapannya.
“…ya pokoknya begitu.” Lanjutnya.
“Kok gitu? Aku tuh paling males ya kalau ada orang gak ngelanjutin ucapannya, Nata, teu kaci ah.”
Dia malah menyengir, “Teu kaci itu apa?”
“Tanya aja sama Tjandra.” Balasku ketus.
Tanpa kulihat pun, bisa kudengar kalau Nata tengah terkekeh pelan.
“Udah sore, pulang aja ya.”
“Pulang? Terus ini gimana?”
“Terus apa?”
“Ya ini, kelanjutannya gim—Nata, kamu fuckboy, ya?”
Nata mengurungkan diri untuk melompat dari atas kap, lalu menatapku cepat.
“Fuckboy?” Dahinya mengkerut.
“Iya. Fakboi Pasar Baru.”
“Hah?”
“Kamu kayaknya udah biasa bilang suka, tapi udah itu selesai, kayak gak terjadi apa-apa. Tipikal fakboi Kota Bandung banget sih.”
Aku beringsut, lalu turun ke samping pintu mobil dengan wajah yang ditekuk sedemikian mungkin.
“Fuckboy apa, sih?”
Aku membanting pintu mobil sedikit keras, dan sama sekali tidak berniat merespon pertanyaannya.
🍂
Hening.
Iya. Sepanjang perjalanan, baik Nata ataupun aku tidak ada yang berniat membuka suara. Dan aku sudah kadung kesal dengan laki-laki di sampingku ini yang sekarang hanya diam membisu dibalik kemudi.