“Nih, Habede.”
Tjandra menyerahkan sebungkus cilok, lalu duduk di sampingku, di bangku kayu depan toko. Setelah hampir seminggu ini aku tidak sempat menyambangi toko karena sibuk mengurus haul meninggalnya kakekku, dan sibuk mengurus ini itu yang semestinya dilakukan manusia seumuranku, akhirnya bisa bersantai lagi sembari menikmati sore hari di depan toko.
Dan, ya. Hari ini hari ulang tahunku.
“Chan, teu salah? Masa hadiah ulang tahun cilok Mang Dadang?”
“Terus pengen naon? Tanah dua hektar? Minta wé ka Bapak urang. Dijamin moal dibéré.”
Aku mendecih kesal, ya lagipula apa sih yang bisa diharapkan dari sepupuku ini?
“Tapi Rum, omong-omong, Bi Nana gak akan ngadain pengajian lagi?”
Yang dimaksud pengajian dari yang dibilang Tjandra itu pengajian ibu-ibu masjid dekat rumah. Sebenarnya yang punya ide itu Enin alias Nenekku, Ibu cuma bagian iya iya saja. Bilangnya sebagai syukuran ulang tahunku, tapi realita lapangan tidak jauh dari transaksi jual-beli Tupperware, gamis, obat herbal, dan ajang promosi anak-cucu yang masih melajang.
“Enggak, Bapak pengen syukuran keluarga aja. Lagian aku gak mau rame-rame gitu.”
“Jadi inget dulu Teh Jena sampe pura-pura sakit muntaber gara-gara di pengajiannya ada Bu Endang yang anaknya niat dijodohin sama Teh Jena. Enin mah emang diktator pisan. Tapi urang kenapa gak diadain pengajian ya tiap ulang tahun?”
“Ya lagian apa yang mau dipromosiin dari kamu, Chan?”
Sontak Tjandra menjewer telingaku bersamaan dengan sayup-sayup suara tawa dari arah Toko Widjaya. Aku mengernyit karena yang kudapati ternyata segerombol lelaki berparas asing yang baru pertama kulihat tengah keluar dari toko dan sekarang berjalan menyeberang ke arah tokoku, oh bukan, ke arah warteg samping toko.
Tapi kemungkinan itu sirna saat Luki merangkul salah satu dari mereka, dan di paling belakang kulihat Nata yang sudah seminggu ini tidak kutemui, tengah berjalan dengan tampang setengah mengantuknya. Setelah melihat dia rasanya malah jadi campur aduk. Maksudku, setelah apa yang terjadi tampaknya tidak ada yang berubah, dan kita juga tidak saling menghubungi. Ya lagipula yang aku bicarakan itu Wiranata Widjaya, jangan berharap apa-apa.
Nata masih belum menyadariku, dia bersender ke pilar di depan warteg, matanya mengamati empat orang di depannya yang fokus menatap jajaran lauk dibalik kaca.
“Mbakyu, ikan goreng siji.” Ujar Luki.
“Mas Luki, mau ayam serundeng.”
Lelaki yang tadi dirangkul Luki berucap tanpa memalingkan pandangannya dari ponsel.
“Luk, urang mau pais ayam.” Ucap yang sibuk menyisir rambutnya dengan jari ke belakang.
“Pais itu apa?”
“Pepes.”
“Si Mahe bego anjir, si Luki mana tau pais. Pesen sendiri sana!”
“Nitip ku manéh wé.”
“Manéh lah, harus nurut ke yang lebih tua.”
“Lahir sepuluh menit lebih dulu gé meni sombong.”
“Udah sana pesen.”
“Ogah.”
“Udah, stop. Kalian pesen sendiri-sendiri. Luk, saya samain sama kamu.”
Akhirnya Nata menengahi dua lelaki yang wajahnya hampir serupa itu. Keduanya berjalan ke dalam warteg walau bisa kulihat tampang malasnya.
Nata sepertinya hendak menyusul mereka, tapi kemudian dia mendapatiku. Mata sayunya sedikit membulat.