Kusuma dan Dharma

6.8K 1.2K 133
                                    

Pagi-pagi buta harum bawang goreng sudah tercium dari arah dapur. Ini bukan hari Senin atau hari kerja lainnya, tapi Ibu sudah sibuk mengatur piring di atas meja makan. Jangan salah, bagi keluarga Bapak Soemardja Djaya Kusuma, weekend menjadi hari tersibuk mengalahkan hari Senin yang dijuluki Monsterday oleh teman-teman sekelas SMA-ku dulu.

Iya, usaha di bidang perniagaan memang begini. Bahkan Kakak dan Bapak sudah pergi dari jam dua dini hari tadi saat aku sedang romantis-romantisnya bareng Chris Evans di alam mimpi. Ya bayangkan saja, semalam aku diusap, dipeluk, bahkan nyaris dici—

“RUMI,”

yeah, kalian pasti tahu kelanjutannya.

Aku menuruni tangga dengan langkah gontai dan sesekali menguap. Ini masih jam setengah enam guys, untuk ukuran waktu sarapan ini masih terlalu pagi.

“Udah sholat?” tanya Ibu sembari sibuk menatap layar ponselnya.

Aku mengangguk, menghiraukan Ibu yang nyatanya tidak melihat sama sekali ke arahku karena sibuk mengetik sesuatu secara brutal. Berani bertaruh Ibu pasti sedang berkoar-koar di grup chatKusuma Pasar Baru” yang isinya para karyawan toko keluarga kita, dan Ibu sebagai komandannya.

“Udah sholat belum?” tanya Ibu lagi, kali ini menatapku.

“Ibu ih yakali udah jam setengah enam juga,” jawabku malas. Ibu terkikik lalu memasukkan ponselnya ke sling bag.

“Makan yang cepet, mandi, terus berangkat ke toko.”

“Hah? Gak akan bareng?” aku menggantungkan sendok, lalu menatap Ibu cepat.

“Ini udah telat Neng geulis, ini lagi karyawan juga pada telat,” Ibu mengambil kunci motor lalu mengacak rambutku gemas.

“Udah yaa, itu uang di atas kulkas, dadah Rumi kesayangan Bu Nana,” Ibu tergelak sembari memakai helm.

Ya Allah, itu Ibu saya?

💑

Jarak dari rumah ke toko tidak terlalu jauh tapi tidak dekat juga, sebenarnya Ibu sudah menyiapkan ongkos ojek, tapi setelah dipikir-pikir lebih baik jalan saja, lagi pula lumayan juga uangnya bisa buat cuankinya Mang Maman.

Kakiku sudah menyusuri jalan Otto Iskandardinata yang pagi ini masih terlihat lengang. Dari jarak kurang dari 50 meter sudah nampak toko bertuliskan “Widjaya” di seberang toko kami, yang tak lain yakni milik keluarga Widjaya yang katanya hampir seluruh keluarganya asli keturunan China.

Memang sih, dilihat dari sudut manapun muka Enci Lin atau anaknya yang kemarin gak ada unsur lokal-lokalnya. China banget.

Ketika hampir sepuluh langkah lagi ke pintu toko, mataku menangkap pemandangan seorang laki-laki dengan kaus putih polos, celana training hitam, dan dengan bare face-nya tengah menggeser folding gate toko Widjaya.

Itu si Koko yang namanya Wiranata - alias Nata - alias Sic-Secheng? Secheng bukan sih nama Chinanya? ah Sicheng.

Tanpa sadar dari seberang aku mengamati kegiatan pagi hari si Koko yang dapat dipastikan dia belum mandi. Tapi fakta lainnya, dari jarak yang tidak dekat ini dan tanpa pandangan subjektif , hell aku pikir dia tetap terlihat tampan.

Iya, memang begitu kenyataannya. Tidak usah berpikir macam-macam, toh aku tidak merasa berdebar dan—

sialan dia melihat ke arahku.

Wiranata - KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang