“Putus?”
Aku terbelalak saat Nata tiba-tiba membuka matanya.
“Putus?” Ulangnya.
Dia duduk tegak dan menatap lurus padaku.
“Kamu ada rencana putus sama saya?”
Seketika lidahku kelu.
Aku menggeleng. “Enggak.”
“Ada yang mau kamu bicarakan sama saya?”
Bahkan aku tidak tahu harus memulainya dari mana.
“Beberapa hari kemarin kamu kelihatan beda dari biasanya, Rum.”
Aku mencoba merangkai kata dalam pikiranku, tapi semuanya tampak tidak tersusun sekeras apapun aku mencobanya.
“Nata.”
Dia terlihat menunggu.
“Aku minta maaf kalau ini nyakitin kamu.”
Aku mencoba menghirup nafas pelan.
“Aku bingung gimana menuturkannya, yang jelas nyatanya kita gak ada bedanya sama mereka. Maksudku, mereka.. mereka yang kamu benci.”
Untuk sejenak, yang kudengar hanya suara gesekan kereta dengan rel.
Nata masih membisu. Aku bahkan tidak sanggup menatapnya.
Keheningan ini sama sekali tidak menenangkanku. Bahkan bungkamnya Nata membuatku ingin segera mengakhiri percakapan ini.
“Jangan menggeneralisasi. Mungkin bukan ‘kita’ tapi ‘mereka’, atau juga bukan ‘mereka’ tapi hanya ‘dia’. Meski begitu juga saya gak peduli, asal jangan kamu.” Suara Nata terdengar lebih dalam dari biasanya.
Perlahan aku mencoba menatapnya.
Ekspresinya datar, dia tidak terlihat marah, tidak juga tampak bersahabat. Aku tidak dapat membacanya, dan jujur saja, ini membuatku frustasi.
Nata membuang muka ke arah jendela. “Sebenarnya dari awal saya sudah menyiapkan diri, kalau-kalau kejadian yang lalu terjadi sama kita juga. Tapi ternyata rasanya tetap saja.. sakit.”
Rasanya menyakitkan saat aku mendengar kekehan kecil di akhir ucapannya.
“Maaf.” Ucapku lirih. Setidaknya hanya ini yang bisa kuucapkan sekarang.
“Kamu boleh minta maaf kalau kamu mau minta putus sama saya.” Ucapnya dengan nada suara yang rendah.
“Kamu mau kita putus?” Tambahnya.
“Sama sekali enggak.”
“Kalau gitu jangan minta maaf.”
Aku mengangguk untuk yang kesekian kalinya.
“Kita hidup di antara banyak mata, telinga, bahkan opini. Saya gak bisa bertingkah menyedihkan. Tapi tetap saja, untuk beberapa hal ada yang harus saya usahakan. Untuk ini dan itu, terutama untuk kamu.”
Tatapan Nata kini mulai melembut. Dia selalu seperti ini, bagai representasi yin dan yang yang sempurna.
“Kamu gak perlu berusaha buat mereka. Dengan hadirnya kamu aja itu udah sebuah berkah.” Ucapku sedikit lantang.
Nata tersenyum tipis. “Sangat tipikal kamu sekali. Tapi, Rum, untuk hal ini saya minta kamu biarkan saya berusaha.”
“Tapi kamu gak perlu nurut apa yang mereka mau. Kalau nanti keluargaku minta apa-apa, atau nyuruh kamu jadi apa, kamu jangan mau. Aku pengen kamu tetap jadi diri kamu sendiri.”